Memahami Dresta Bali Bhasya: Berdasarkan Pengalaman Hidup

Dr. Ketut Puspa Adnyana, M.P

Oleh : I Ketut Puspa Adnyana, Kendari

Om Swastyatsu.

Sembah sujud pangrastiti tityang kepada para Leluhur, Ida Bhatara-Bethari, terutama Ida Sang Hyang Embang, Sang Meraga Suwung. Agar tidak kena pastu dan selalu mendapatkan Karunia-Nya. Ijinkan tityang bercerita tentang keluarga, mengapa sampai sekarang ikut meng-ajeg-kan tradisi. Intinya bahwa KETELADANAN harus ada dalam keluarga agar keturunan itu patuh dan merasa memiliki kewajiban. Bhasya atau tafsir berdasarkan pengalaman.
Belajar Mencari Pengetahuan
Tityang hanyalah pelajar yang belum berhenti belajar. Belajar tanpa guru dan hanya melihat dan mengalami selaku Suku Bangsa Bali yang lahir di keluarga yang menganut Dresta Bali dengan kuat (Hindu Bali) dalam lingkungan tradisional dangan berbagai kegiatan adat dan keagamaan. Adanya Media Sosial yang bebas mengulas Bali Tradisional, membuat tityang menjejali otak dengan pertanyaan. Pertanyaan apa? Bagaimana penjelasan yang lengkap mengenai Dresta Bali ? Tityang harus menjadi “pemulung”, sejak ramainya diskusi mengenai Sampradaya di Bali, yang juga menggetarkan Hindu di Indonesia. Sampai pagi ini juga masih banyak pertanyaan berjubel di otak tityang. Akhirnya, tityang ingat pesan Bhagawad Gita, yang intinya : bila ada masalah sulit, itu urusan Tuhan, serahkan kepada Beliau pasti tuntas. Terkait ini tityang teringat pesan orang tua yang sekarang sudah meraga Hyang : “Gebrasang bayune”. Maknanya : bahwa Hyang Meraga Embang harus selalu ada dalam hati. Semenjak itu, meskipun tityang baru SMA kelas 2, namun telah menerapkannya sampai saat ini “Tuhan harus selalu ada di dalam Hati” (dalam Weda dikenal Nawa Widha Bhakti).
“Tidak usah kawatir Nak. Engkau harus mempercayai yang ada di dalam hatimu”, nasihatnya lagi. Tityang kecewa, sepertinya setiap pertanyaan tidak memiliki jawaban bila berbicara tentang hal ini pada awalnya. Paman tityang sejak “kedewan-dewan” (sebutan orang yang belajar agama), mengajar ke sana ke sini bahkan sampai keluar negeri, bila beliau pas ada di rumah dengan tekun ikut melaksanakan piodalan bahkan tityang dengar dana punianya paling besar. Apakah saudara kandung dan ibunya (nenek, single parent sejak mereka masih kecil) keberatan? Itulah pesan nenek tityang: “Tidak usah kawatir Nak. Engkau harus mempercayai yang ada di dalam hatimu”. Ketika ayah mempertanyakan adiknya yang “kedewan-dewan”. Ayah hanya terdiam dan menunduk tidak bicara sepatah kata pun, karena paham.
Setelah semakin dewasa, tityang baru sadar, di rumah setiap sore Nenek tityang membaca Lontar Sucita Subudi karya Ide Ketut Jelantik. Kakak tertua tityang sekarang jadi Mangku, juga seorang Dalang, waktu paman tityang masih bujangan meminta ke Gedung Kirtya untuk mendapatkan satu salinan geguritan tersebut. “Kitab Suci” itulah pedoman hidup kami yang dijadikan dasar manasihati. Kakak Mangku Dalang, mungkin memiliki banyak copi berbagai lontar terkait kepemangkuan dan tityang menambahkan dengan buku-buku terbitan.
Mangku Masehe
Bila ada piodalan, paman sebagai Mangku Dalem, sekelumit pun tidak pernah menggunakan mantra-mantra yang sekarang demikian ramai dichantingkan. Tityang tidak mendengar bunyi genta. Hanya terdengar suara Paman Mangku dengan intonasi yang mendayu yang membawa tityang ke “alam yang lain” ketika masehe (masesontengan). Paparannya sangat runut, nuhur Ida Bhatara, layaknya kedatangan TAMU AGUNG yang dibuat sangat menyenangkan. Mulai dari menyambut, membasuh kaki Beliau, mempersilahkan mandi, memakai wastra, katuran rayunan penganan, mebaosan, sampai kembali ke asal dengan oleh-olehnya. Ke mana itu sekarang? Seluruh Mangku yang ada di desa tityang bahkan kalau tirtayatra di pura-pura di Bali bahkan sampai di Jawa, mantra-mantra yang diucapkan tidak pernah tityang mengerti langsung di telinga.
Sesontengan Paman Mangku dengan bahasa sehari-hari dengan jelas dipahami ucapannya. Kami dimohonkan keselamatan, dibebaskan dari segala gangguan makhluk halus, memedi, wong samar, teluh, desti, acep-acepan. Kami gembira dan merasa sangat perlu untuk selalu hadir dalam piodalan. Saudara sepupu, anak tertua Paman Mangku, melanjutkan sima menjadi Mangku menggantikan Paman Mangku, juga tetap tidak mau menchantingkan mantra-mantra, ia tetap seperti ayahnya: Mangku Tradisional tanpa mantra dan genta sampai saat ini.
Keluarga kami sangat ketat pada tata titi pelaksanaan karya (upacara yajna). Paman, adik terkecil dari ayah, mengembangkan Transidental Meditation (TM) pertama di Denpasar. Di kampung dilaksanakan Ngaben dengan tata cara di keluarga kami. Tityang juga mengetahui ketika ada pecaruan (entah tingkatan apa) di rumah paman di Denpasar yang muput Ida Pedanda (tityang tidak sebut abisekanya, mantan Tentara). Paman tidak pernah menyinggung sima keluarga, anak-anaknya saudara sepupu tityang juga taat ajeg pada tradisi. Ketika paman meninggal, murid-muridnyalah yang sepanjang “tidurnya yang lelap” ngayah di keluarga kami sampai upacara tuntas. Mereka sekarang mengikuti ajaran Sai Baba, sesuai pesan paman. Murid murid paman ini juga memegang teguh tradisi.
Mengapa Khawatir, lalu melarang?
Ayah dan saudaranya kawatir nanti adiknya kepongor leluhur karena membawa seorang Rsi dari India (Guru TM) ke kampung kami tahun 1970 an. Tityang saat itu baru kelas 1 SMA. Masyarakat dan anak anak pelajar (SMA, SMP) berkumpul bersama di Bale Banjar, tidak ada satu pun orang tua melarang. Satu per satu mereka termasuk saya dibisiki mantra di telinga Kiri dan tangan Rsi di atas kepala saya. Saya tergugah untuk belajar. Ketika tityang bertanya kepada Paman Mangku mengapa jajar palinggih begitu banyak (12 palinggih di Merajan keluarga), beliau menjelaskan satu per satu. Kami tidak memiliki Merajan/Paibon seperti konsep Empu Kuturan. Ada Rong Tiga dan lainnya pada saat itu. Ayah kemudian membangun tahun 1980 an bahkan mendapat “marah” dari Paman Mangku, lalu Sanggah Kemulan tetap didirikan berupa Turus Lumbung dari Taru Sakti dan cerancang dari bambu. Sampai sekarang permohonan kami diutamakan di Sanggah Kemulan (lebih terasa). Paman TM tityang berubah “kedewan-dewan” karena belajar dari India dari seorang Rsi (maaf tidak menyebutkan abisekanya). Ayah saya berubah membangun Paibon/Mrajan, karena pergaulannya yang luas di Bali (dulu klirmarker di Terminal Suci tahun 1950 an).
Paman TM, Paman Mangku dan ayah tampak hidup damai tanpa saling “mengejek”, apalagi menjelang Hari Raya Galungan, mereka saling membawakan lawar dan tum (ngejot). Sekali pun tityang tidak pernah mendengar mereka berdiskusi tentang TM, tentang masehe (tanpa mantra), dan Merajan. Ayah tityang meragukan Paman TM dan kekawatirannya tidak bicara sama Paman TM, tetapi kepada Ibunya (Nenek tityang). Jawaban Nenek: “Tidak usah khawatir nak. Engkau harus mempercayai yang ada di dalam hatimu”. Setelah S1 dan banyak membaca buku-buku agama di PGA Hindu Mataram, tityang mulai sadar mengapa Nenek membiarkan keragaman itu tumbuh di dalam keluarga kami. Jangan dikira Nenek tityang tidak mendapat “bully”, tapi tityang tahu beliau hanya tersenyum. Beliau cukup berpengaruh karena cucu dan istri Mangku Dalem, disamping juga cukup berada.
Dresta Bali dan Non Dresta Bali harus dipahami
Bila disimpulkan, apakah prilaku keluarga kami yang tetap ajeg pada sima adalah Dresta Bali ? Dalam pemahan kami, Ya. Apakah paman TM yang mengajarkan Weda dari Guru Sucinya, dan ayah yang mendirikan Paibon/Merajan menyimpang dari Dresta? Inilah yang masih menjadi pertanyaan di otak tityang saat ini. Suatu hari karena sudah belajar dengan baik mengenai Panca Yajna terutama Pitra Yajna, keluarga kami ada yang berpikiran cerdas yaitu menyempurnakan upacara bagi para leluhur kami. Karena apa? Karena sejak adanya Trah kami di kampung sejak 700 tahun lalu Ngaben dikenal baru tahun 1960 an. Berarti sejak 700 tahun yang lalu seluruh leluhur kami di Neraka, karena tidak Ngaben dan tidak dipuput Ida Pedanda.
Tahun 2017 untuk pertama kali keluarga kami melaksanakan upacara Ngaben di Krematorium, adik sepupu tityang meninggal saat Ngaben Masal di kampung, ia salah seorang panitia. Tityang kawatir ada pertentangan dalam keluarga dan benar, karena krematorium belum bulat diterima di Bali, mungkin karena bertentangan dengan Dresta. Akhirnya istri adik tityang bilang “pokok”nya Ngaben di Krematorium sesuai pesan almarhum. Hebatnya, Ngaben di krematorium 24 jam selesai. Saat itu meskipun di Krematorium, karena seorang adik tityang menjadi pimpinan Institut, hadir juga Sri Bhagawan. Saat anak bungsu menikah, tityang melaksanakan Wiwaha Samskra dipuput Ida Pedanda Nabe (maaf tidak menyebutkan abisekanya). Petuah beliau, karena anak sulung tiyang belum menikah, dilaksanakan sebuah upacara di mana kedua mempelai harus mencium kaki kakaknya sambil sujud. Ini membuat protes keluarga besar. Ketika dijelaskan mereka akhirnya paham, sesuai Ajaran Weda. Ketika adik bungsu tityang meninggal mendadak dan langsung diadakan upacara Ngaben, beberapa orang Bhiku datang dan mendoakan, karena kakak kedua tityang bergaul dengan mereka. Tityang baru tahu setelah itu, bahwa ketika Paman TM meninggal, konon ada juga Bhiku yang hadir. Apakah ini Dresta? Atau bertentangan dengan Dresta?
Mengenal HK, Sai, Brahma Kumaris, Sapta Dharma dan lainnya
Tidak sekali pun pernah mengira anak yang dulu suka mencuri baca Bhagawad Gita, karena dilarang, setelah umur 23 tahun menjadi Sekretaris PHDI Kabupaten tahun 1990 yang kemudian menjadi ketua PHDI Kabupaten setelah 3 tahun. Kemudian tahun 2005 – 2015 menjadi Ketua PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara dan sampai sekarang masih sebagai pengurus pusat. Karena lembaga inilah, tityang mengenal HK, mengenal Sai. Semua buku-buku Sai yang diterbitkan tityang beli beberapa dos, karena habis diambil oleh mereka yang berkunjung ke rumah, lalu membeli semua lagi, demikian juga hanya beberapa yang tersisa. Untungnya semua sudah sempat tityang baca. Demikian juga buku-buku HK yang tityang lihat di toko Buku. Ada juga buku-buku Islam dan Kristen serta Bhudda. Kajian-kajian agama dari sarjana Barat. Saptha Dharma tityang kenal saat S1 dan Brahma Kumaris sekitar tahun 2014 menemui sisternya, sungguh begitu indahnya Hindu. Lalu ketika ada di Ibukota, sempat mengunjungi Ganesha Winayaka Temple dari keluarga Chin Maya.
Ketika cucu-cucu harus diupacarai sesuai sima di kampung tityang, maaf tityang menambahkan Homa Yajna. Mengapa? Karena dalam Bhagawad Gita yang tityang baca secara diam-diam saat SMP, menyebutkan kata “HOMA” yang tityang pikir semacam minuman para dewa, ternyata sebuah upacara berbasis Agnihotra. Di kampung tityang, saat ada upacara piodalan Api Unggun dinyalakan dengan sempurna, tapi tanpa mantra dan bebantenan. Pasepan harus ada (api dalam wadah gerabah). Semua ini sebenarnya agnihotra sebagaimana dilaksanakan di Keraton Gelgel di masa lalu. Ketika nenek mereka masih ada, upacara Agnihotra yang kami lakukan di Kendari “tidak dianggap” lalu dibuatkan ulang, meskipun kami sudah menjelaskan detail. Betapa kuatnya kami memegang tradisi.
Mentaati Dresta
Rasanya pesan Nenek paling manjur bagi perkembangan spiritual tityang dan keluarga, dan juga ayah. Ketika tahun 1979 mengangkat kopor untuk menuju kota yang bukan di Bali melanjutkan S1, pada angkatan pertama ayah menahan. Ia memeluk tityang dan berkata agar kelak membawakan ia menantu beragama Hindu (bagi anak-anak Hindu Milenial: pasti dibilang kuno). Pesan Nenek dan Ayah 100 persen tityang taati. Mengapa tityang menjaga tradisi keluarga, karena KETELADANAN Nenek yang bangga menjadi trah Mangku Dalem dan membuat tityang bahagia. Karena itulah, keturunan seseorang bisa berubah atau beralih ke keyakinan lain karena di dalam keluarga tidak ada KETELADANAN. Tityang tidak merasa bersalah karena menambahkan HOMA YAJNA pada Niskramana Samskara Yayna cucu. Namun, merasa kawatir ketika menceritakan kepada kakak Mangku Dalang, justru malah ia tersenyum dan : “asal jangan tinggalkan pesan Nenek”. Mengapa nenek kami begitu dihormati dalam keluarga? Karena ia menjaga tradisi.
Cara Pandang Modern
Tiada hak seorang pun boleh menghalangi seseorang untuk memilih caranya memuja Tuhan. Orang memuja setan, jin, asura pun masih banyak di dunia ini. Inilah keragaman cara pandang tentang cara mendekati Tuhan. Hindu yang dasar ajarannya adalah Pustaka Suci Weda menganjurkan seseorang memuja Tuhan sesuai apa yang masuk di dalam hatinya: adikara. Dalam hubungan dengan manusia lain, Hindu mengajarkan Waisudewakuthum bakham, tatwamasi dan lainnya yang dirangkum dalam Tri Hita Karana dengan Panca Craddha-nya dan Tri Rnam. Majelis Desa Adat di Bali berwewenang menjaga adat Bali (apakah ini yang disebut Dresta?) dan wajib menjaganya agar tidak tergerus. Adat Bali dalam menata bangunan bukan saja digunakan oleh Suku Bali Hindu tetapi juga oleh kepercayaan lain (Islam, Kristen) dalam membangun tempat ibadahnya. Orang-orang yang tinggal di Bali meskipun bukan beragama Hindu melaksanakan yajna sesa di pagi hari (seperti tetangga saya di Pekambingan, Denpasar).
Karena itu, bagi tityang, adanya HK, Sai, Brahma Kumaris dan lainnya (bahkan Islam, Kristen dan Bhudda) yang dinilai Non-Dresta Bali adalah kesempatan emas bagi kita penganut Dresta Bali untuk berbenah diri dan berlomba menjadi TELADAN dalam keluarga, seperti kami menjadikan Nenek kami TELADAN. Kami tidak mau menyakiti hati Nenek kami, yang bersusah payah membangun “kerajaannya” sehingga keturunannya berhasil. Bahkan menurut sejarah di Bali pernah ada 13 Sampradaya, karena menimbulkan masalah lalu raja menyederhakannya menjadi berlandaskan Tri Murti, lalu berkembang Siva-Bhudda. Raja tidak melarang tetapi mengembalikan pada Ista dewata utama. Karena memang Sampradaya menginduk pada ista dewata yang dipuja yaitu Tri Murti dan Sakti. Nah, apabila sekarang ada larangan, karena ada lembaga yang dibentuk dan lembaga ini nampaknya harus bertugas.
Andakita dulu pemerintah tidak menetapkan 5 (lima) agama resmi di Indonesia (sekarang ada 4000 agama di dunia), mungkin saja Dresta Bali menjadi AGAMA Dresta dan tityang menjadi pemeluknya. Andaikata itu benar, pemuka pemuka Agama Dresta juga tidak boleh melarang kepercayaan lain masuk ke wilayah di mana pun dalam wilayah NKRI. NKRI memiliki Undang undang Dasar itu.
Tityang melihat, MDA dibentuk untuk itu, menjaga Bali, dan mungkin perlu ada Front Pembela Bali (FPB), ditengah konversi Hindu Bali yang semakin banyak serta tanah Bali yang beralih hak kepemilikannya. Semoga semua berjalan dengan baik sesuai kehendak-Nya. Om Santih Santih Santih Om (Kdi: 11/02/21:9.20).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email