Oleh: I Ketut Puspa Adnyana, Kendari
Pagi itu Pangeran Gandara, Sakuni tampak gelisah. Raut wajahnya berkerut bagaikan mendung. Sesekali ia mengusap keningnya, lalu mengakhiri dengan merayapi kumis dan jenggotnya. Yang membuat Sakuni gelisah adalah kenangan pahitnya yang tidak satu pun membuahkan hasil. Ia seperti menabrak tembok besar yang tak tergoyahkan. Semua usahanya untuk menghancurkan Hastinapura gagal.
Dalam kegalauannya, Pangeran Sakuni menghampiri gandewa yang tergantung di dinding. Ia mencoba membentangkannya, tampak lengkungan yang membentuk hurup “U” yang horizontal. Ia mengendorkannya dan meraih anak panah. Ia merentangkan kembali gandewa dan siap dengan anak panah. Anak panah itu melesat secepat kilat melewati sebelah pohon Intaran yang ada di depan pandapa. Ia tersenyum. Anak panah itu seperti mengejeknya, engkau tidaklah secerdas Arjuna atau Ekalawiya dalam menggunakan panah.
Sakuni menarik kakinya dan mengambil lagi anak panah yang lain. Kali ini ia memusatkan pikirannya, sebagaimana ia lihat saat Bhisma menunjukkan cara membentangkan gandewa dan memasang anak panah. Panah melesat dan menghantam pohon Intaran itu. Panah menancap seperempat dan ekornya bergoyang. Sakuni tertawa dan mendesah: “hanya dibutuhkan pemusatan pikiran untuk dapat membidik sasaran”. Lalu ia mengacungkan jempol untuk dirinya sendiri.
Sakuni bergegas ke pojok pandapa ada gentong besar yang berisi air untuk mencuci tangan. Pada dinding tergantung cermin dan ia melihat wajahnya, tampak menyedihkan. Kemudian ia menyeringai seolah mentertawai bayangannya. Cermin itu dari besi yang digosok halus sehingga memantulkan wajahnya. Wajah yang tidak terlalu buruk, ia merasa pantas untuk meminang Dewi Kunti. Namun dalam sayembara itu, Pangeran Gandara terlambat datang sehingga Dewi Kunthi telah dimenangkan oleh Pangeran Pandu. Sakuni meninju cermin itu yang kemudian jatuh dan menimbulkan suara gaduh.
“Aku telah dipermalukan oleh Pandu. Sekarang lima anak anaknya itu, apakah aku harus memaafkannya? Kunthi engkau seharusnya menjadi istriku, menjadi permaisuri Gandara. Tapi sayang aku terlambat saat itu. Namun, apa hubungannya dengan tujuanku? Aku ingin menghancurkan dinasti ini, yang telah menghina keluargaku. Martabat keluargaku. Aku tidak melihat lagi jalan yang lebih baik daripada menghancurkan. Kakakku Gandari, permaisuri Hastinapura yang menikah dengan raja buta itu, sesungguhnya berharap dinikahi Pandu. Andaikata itu terjadi, bukankah juga Pandu menyukai Gandari, aku memiliki Kunti. Ah…mengapa ini terjadi? Tuhan…heh..heh…heh, bagaimana engkau mengatur ini. Engkau seharusnya mengabulkan niatku. Tetapi engkau tidak peduli. Aku sekarang bertaruh…apakah aku akan berhasil menghancurkan dinasti Kuru ini.Tuhan apakah aku berhasil menghancurkan dinasti kuru ini?”. Sakuni melemparkan dua dadu (dari tulang paha ayahnya) ke atas meja, yang berdentang nyaring.
Sakuni memandang di kejauhan. Kemudian ia ingin kembali ke Gandara, di mana ia lahir dan disayang oleh ayahnya Raja Subala. Namun, niat itu ia urungkan karena ada beberapa kesempatan yang menjadi potensi membuat kekacauan. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya. Sakuni kembali dengan catatan. Ia membolak balik catatan itu. Kemudian meletakaknnya di atas meja kecil. Ia meraih minuman rempah yang disiapkan para pelayan. Mengunyah beberapa camilan yang nampak enak.
“Hidupku seperti ini. Mengapa aku harus membenci? Bukankah ajaran Weda yang didendangkan oleh ayahku patut aku dengarkan? Lalu hidup sebagai pengeran yang baik dan mendukung saudara kandungku Gandari. Mengajari keponakanku yang berjumlah 100 orang sebuah kebanggaan. Lalu bersahabat dengan Pandawa dan Krishna. Hem….ya, bagus bagus bagus”.
Sakuni menuju ujung pandapa terdengar keributan. Sepasang ayam jago saling mengadu ketangkasan tajinya. Beberapa kali ayam jago hitam berhasil menghantam ayam jago merah. Ayam jago merah memperbaiki posisinya lalu bergerak cepat dan menghantam dada ayam hitam. Ayam itu berkeok dan lari tunggang langgang. Sakuni mengepalkan jari tangannya. Matanya nampak melotot.
“Hemmm aku harus membalaskan sakit hati ayahku. Penghinaan terhadap kakakku Gandari yang menikahkan dengan Pangeran Drestharata yang buta itu. Meskipun aku hancur lebur tetapi aku gembira bila dinasti ini ikut musnah. Aku harus mengancurkannya”. Sakuni terpengaruh oleh adu ayam itu bahwa setiap orang harus siap bertempur untuk menjaga martabatnya.
Sakuni membalik tubuhnya ketika seorang pelayan mendekati dan menyampaikan bahwa seseorang sedang minta ijin untuk bertemu. Sakuni bergegas menuju pandapa yang lebih kecil, seseorang telah menunggunya.
“ Salam pangeran…”, kata orang yang menunggunya di pandapa. Sakuni menyambut dengan rasa ingin tahu yang besar. “Katakan segera apa yang dapat engkau laporkan kepadaku Durlaba” ujar Sakuni.
“Penyerangan terhadap Dwaraka telah dilakukan dengan perencanaan yang sangat matang Pangeran. Ekalawiya dengan trengginas telah berhasil merangsek para parajuit Dwaraka yang dipimpin Baladewa. Taksaka menyerbu dari bagian darat dengan pasukan wangsa naga yang menakutkan. Kami bersorak gembira karena telah berhasil sampai ke pusat kota dan sedikit lagi menangkap pemimpin perang mereka Susarma….”kata Durlaba. Sakuni tersenyum dan nampak bangga.
“ Akan tetapi entah dari mana, tiba tiba muncul Baladewa dan Sri Krisnha, yang menyapu kami. Kami berlarian untuk menyelamatkan diri. Penyerangan Dwaraka gagal total pangeran….”, kata Durlaba. Wajah Sakuni berkerut dan nampak merah matanya. Kegembiraannya dihancurkan oleh kemalangannya. Sakuni sangat marah.
Sakuni menuju kursi dan duduk memegang dadunya. “Bagaimana dengan Ekalawiya dan Tatsaka?” tanya Sakuni. Durlaba diam sejenak ia menenangkan dirinya. “Hamba melihat Ekalawiya berhasil meraih sebuah perahu dan berusaha mengayuh menuju laut meskipun anak panah tampak menghujaninya. Ampun pangeran, hamba tidak melihat Tatsaka. Hamba yakin dalam kegelapan ia dengan mudah melenyapkan dirinya.”
“Pergilah, aku ingin sendiri”, kata Sakuni. Durlaba yang berharap dapat hadiah segera melesat pergi melihat perubahan mimik Sakuni. Sakuni bangkit dari duduknya menuju meja dan melemparkan dadunya. Kemudian meraupnya kembali dan mengusap-usapnya. Sakuni perlahan sambil menyeret kakinya menuju pandapa yang lebih besar sekaligus sebagai istana kecilnya di lingkungan kedaton Hastinapura. Sakuni sebagai kerabat raja mendapat fasilitas yang memadai sehingga ia leluasa dalam lingkungan Hastinapura. Sakuni dapat mengujungi raja dan permaisuri kapan saja ia mau.
Kini Sakuni ditemani kegelisahannya. Bagaimana mungkin strateginya yang telah dimantapkan dengan matang gagal begitu saja. Investasinya gagal total. Bukankah Sri Krihsna sedang berjalan-jalan ke Negeri Cedi untuk mengunjungi kerabatnya? Bagaimana ia bisa tiba dengan sangat cepat? Apakah Sri Krishna benar seorang Wisnu?
Sakuni ingin bebas dari pikirannya yang kacau. Otaknya terus berputar. Di kejauhan di atas langit terlihat seekor burung elang jambul dikejar-kejar oleh seekor burung gagak hitam. Elang itu nampak tidak hirau atas kehadiran burung gagak tersebut. Burung gagak hitam itu terus mengganggu burung elang yang jauh lebih besar. Sakuni memperhatikannya. Ia tersenyum.
“Bila aku terus memikirkan teka-teki Sri Krihsna lama-lama aku bisa gila. Cara terbaik adalah membiarkannya seperti burung elang itu. Bukankah gagak itu tidak berati apa apa? Manusia penyihir itu harus disingkirkan. Bila tidak, semua usahaku ini akan gagal. Atau berhasil namun beserta diriku juga? Tidak, aku harus mencari cara yang paling mudah. Seperti elang itu, aku seharusnya tidak terlalu memikirkan hal remeh-temeh. Investasiku pada orang-orang bodoh ini menghabiskan energiku. Aku harus menemukan sesuatu yang lebih menjanjikan. Sedikit tenaga tetapi hasilnya besar. Ya hanya judi prinsipnya demikian. Apakah aku cukup mahir dalam bermain dadu?”
Sakuni lalu memanggil seorang prajurit penjaga. Kemudian prajurit itu berlalu setelah menerima perintah Sakuni. Seseorang yang sudah tengah baya dengan membawa baki tiba di pandapa Sakuni. “Hamba tuanku”, kata perempuan tengah baya itu. Perawakannya cukup berisi, senyumnya manis dan nampak pesolek. “Aku mendengar engkau sangat piawai dalam membuat pijatan-pijatan relaksasi”, tanya Sakuni.
Namun, Sakuni sesungguhnya memiliki maksud yang hanya dia yang mengerti. Beberapa orang dayang menyiapkan kasur dan sprai dari kain berwarna biru tua, lalu menggelarnya di sebuah dipan yang berukuran kecil cukup untuk satu orang. Perempuan paruh baya yang nampak masih seksi itu mengeluarkan peralatan pijat dan relaksasi dari kotak yang dibawa pembantunya. Untuk mencari informasi judi dekat dengan perempuan-perempuan yang bekerja seperti ini akan mendapat banyak khabar, pikir Sakuni. Sungguhlah Sakuni memiliki kecerdasan.
“Tuanku akan merasakan sensasi yang luar biasa. Pikiran tuanku akan tenang lalu tidur dengan nyenyak. Aku akan terus memijat tuanku sampai tuanku meminta untuk menghentikannya”, kata perempuan tengah baya itu dengan nada suaranya lembut. “Lakukanlah sesuatu yang paling baik kamu dapat lakukan”, kata Sakuni.
Perlahan perempuan itu meminyaki ujung jari kaki Sakuni. Kemudian diurut perlahan-lahan. Sakuni nampak menahan sakit, namun tidak menyuruh emban itu berhenti. “Engkau berasal dari bagian mana kota ini?”, tanya Sakuni sambil memejamkan matanya. “Hamba dipanggil Wadruka paduka. Hamba bukan berasal dari kota ini. Hamba berasal dari negeri yang jauh. Sebuah kerajaan yang juga besar seperti Hastinapura. Namun kekejaman para pemimpin membuat kami merasa tidak nyaman sehingga keluarga kami memutuskan untuk pindah ke negeri yang damai dan makmur ini. Salahkah itu tuanku? Kini hamba sangat bersyukur karena tuanku mempercayai hamba. Hamba berjanji bekerja dengan sangat baik”, kata perempuan itu.
Sakuni menahan sakit dari pijatan yang dilakukan pada betisnya, sebuah gerakan pijatan yang sakit tapi nikmat. “Engkau boleh bekerja di sini, bila engkau dapat memuaskan kebutuhanku. Ceritakanlah bagaimana kota asalmu dulu. Apakah di dalam kota itu ada orang orang baik dan orang orang jahat dan lainnya”, kata Sakuni,
Sambil memijat dengan tekun dan dilayani oleh pembantunya untuk menyiapkan minyak dan kain lap, perempuan itu terus bercerita. “Pada awalnya kami hidup damai karena kota juga makmur. Namun, lama-kelamaan kota mulai semrawut karena datangnya para saudagar dari berbagai belahan bumi untuk mengadu nasib dan keberuntungan. Kejahatan mulai lahir. Perjudian dan pelacuran selalu bersahabat. Ini adalah penyakit menular yang berbahaya. Di kota Gajah Oya ini perjudian hampir tidak ada, walaupun ada tidak sampai menimbulkan masalah karena penduduknya taat kepada pemerintah. Alkohol dan minuman keras lainnya hampir tidak ada. Kota ini sangat nyaman. Hamba mengusulkan janganlah sampai ada perjudian dan pelacuran di kota ini tuanku. Hamba mohon tuanku menjaganya. Bukankah paduka adik kesayangan permaisuri?”.
Sakuni membatin dan teorinya tentang Judi dan pelacuran menjadi benar. Dua hal ini harus dikemas untuk merongrong sedikit demi sedikit kehancuran Hastinapura. Judi adalah senjata ampuh yang murah namun dengan hasil gemilang. Pelacuran adalah kenikmatan yang dicari dan tak akan pernah berhenti, karena menjadi kebutuhan pria. Selama ada laki laki pelacuran pasti tetap ada.
“Engkau tadi menyebutkan hampir tidak ada perjudian. Hampir tidak ada pelacuran. Kesimpulanku adalah perjudian dan pelacuran di kota ini ada. Apakah engkau mengetahui di mana keberadaannya?, tanya Sakuni. Perempuan itu lama diam, nampaknya berpikir untuk mengatakan sesuatu.
“Hamba tidak dapat memastikan tuanku. Hamba mendengar itu ada. Perjudian itu tidak bisa dipastikan tempatnya tuan. Karena perjudian bisa terjadi pada orang besar, gembel bahkan orang gila. Di dalam pasar juga ada perjudian meskipun pasar sedang ramai-ramainya. Di rumah-rumah mewah pejabat juga ada perjudian”, kata perempuan itu.
Sakuni tersenyum dan melihat peluang yang dapat ia jadikan sebuah potensi. Sakuni berpikir ini adalah hal yang baik untuk memulai. “Apakah engkau pernah mendengar seseorang yang terkait dengan judi. Orang yang terkait dengan pelacuran?”.
Perempuan itu kembali lama baru menjawab. “Hamba takut tuanku bila menyebut nama seseorang. Taruhannya nyawa hamba dan keluarga hamba”. “Siapa orang yang berani berlaku kurang ajar di kota ini pasti kubasmi. Engkau jangan takut. Memberi informasi kepada negara mengenai kejahatan adalah perbuatan terpuji. Kamu tidak perlu merasa takut. Kewajiban negara untuk menjaga warganya agar berada dalam ketentraman dan kedamaian”, kata Sakuni tegas.
“Purocana tuanku”, kata perempuan itu. Sakuni tersenyum dan ia kemudian berpura-pura membuang air kecil lalu masuk ke kamarnya dengan berselimutkan kain sutera. Sakuni memanggil seorang telik sandinya lalu meminatnya untuk mencari seseorang yang bernama Purocana. Sakuni kembali ke tempat di mana ia dipijat oleh perempuan setengah baya itu. “Teruslah engkau bercerita”, kata Sakuni. (Kdi, 2020: 6.19).