Oleh : Wayan Windia *)
Sudah sejak lama terdengar, ada para “pemain” di belakang aktivitas galian C di Bali. Para “pemain” ini sangat sulit disentuh hukum, karena mereka adalah orang-orang kuat. Letupan-letupan wacana tentang kasus galian C menunjukkan bahwa ada “api dalam sekam” dalam aktivitas ekonomi itu. Misalnya, wacana soal pungutan, lingkungan, jalan rusak dan lainnya. Bagi orang pers, logika yang sering dijadikan acuan adalah, no news is a good news. Artinya, kalau masih ada letupan wacana (berita) dalam suatu kasus, maka hal itu menunjukkan ada “sesuatu” dalam kasus itu. Tinggal menunggu waktu saja, kapan kasus itu akan mencuat, dan ditangani oleh para penegak hukum. (Foto bawah : Masyarakat Bali menolak setiap perilaku yang merusak alam seperti rencana pembangunan Terminal LNG di Kawasan Hutan Mangrove Sanur-Intaran-Sidakarya).
Minggu lalu, ada berita di medsos. Bahwa KPK akan hadir untuk membuat terang kasus galian C di Bali. Itu artinya bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam kasus kegiatan galian C itu. Makna lain dari berita itu (kalau berita itu benar), bahwa pasti ada ketidakadilan dalam kasus itu. Banyak wacana, bahwa kasus-kasus korupsi biasanya terlaksana dengan cara berkelompok (berjemaah). Bahasa lainnya, sindikasi.
Kalau sampai tercium KPK di Jakarta, maka pasti ada personal dari jaringan kelompok itu, yang tidak puas, lalu membuat laporan. Karena tidak sulit membuat laporan ke KPK. Cukup dengan kirim laporan via e-mail. Kemudian KPK akan merespon, agar sang pelapor memberikan bukti-buiti awal. Kalau datanya valid, maka KPK akan melakukan penyelidikan. Kebetulan saat ini KPK sedang concern pada masalah lingkungan dan alam.
Dalam pembangunan yang sangat teknologis (cirinya : sangat eksploratif dan eksploitatif), aspek lingkungan sering menjadi korban. Apalagi di belakangnya ada oknum-oknum yang pragmatis, sebagai produk dari proses globalisasi. Manusia dan alam sering adu kuat dan saling tabrak. Hanya kesadaran pada kelestarian lingkungan yang menyebabkan tabrakan antara manusia dan alam, agak bisa terkendali. Apalagi kesejahteraan ekonomi oknum-oknum di kawasan kasus itu sudah mulai membaik, kesadaran terhadap lingkungan juga akan semakin meningkat. Kecuali oknum-oknum itu terus-menerus merasa dirinya masih miskin.
Selanjutnya kesadaran pada kelestarian lingkungan akan semakin solid, bila bisa dikaitkan dengan kesadaran sosial budaya masyarakatnya. Kesadaran sosial budaya-lah, yang bisa memperteguh harmoni antara manusia, alam, lingkungan dan ekonomi. Misalnya, kasus reklamasi Teluk Benoa. Rencana reklamasi yang sangat menggegerkan itu, tentu saja secara ekonomi sangat menguntungkan (bagi manusia). Secara teknologi, untuk merekayasa alam, sangat memungkinkan. Tetapi secara sosial (budaya), ditolak ramai-ramai ole rakyat Bali. Bersyukur, proses pembangunan reklamasi itu akhirnya “batal”, karena dianggap menodai lingkungan sosial-budaya (termasuk lingkungan biotik dan abiotik). Mengganggu Tri Hita Karana di Bali yakni keharmonisan hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan, karena setidaknya ada 41 titik suci (yang disakralkan) di Kawasan Teluk Benoa. Belum lagi memunculkan disharmoni (konflik) sosial. (Foto bawah : Galian C di Klungkung Bali, sumber : atnews.id)
Bagaimana dengan kasus aktivitas galian C? Aktivitas penambangan galian C, adalah sebuah proses manusia yang menabrak alam. Lingkungan menjadi terpengaruh. Proses penyimpanan air pada kawasan galian C akan terkuras habis, sehingga bisa menimbulkan kekeringan di bagian hilir. Karena kawasan galian C tidak bisa lagi menyerap dan menyimpan air, maka pada musim hujan bisa terjadi banjir di bagian hilir. Hal ini terjadi, karena manusia-manusia yang terlibat dalam proyek tidak memiliki kesadaran lingkungan. Kemudian secara ekonomi tetap merasa miskin. Tidak pernah merasa puas dalam kehidupan yang fana ini.
Karena untungnya banyak, maka kegiatan bisnis galian C semakin menjadi-jadi, semakin merajalela. Apalagi saat ini kita sedang melakoni politik liberal. Biayanya sangat mahal. Maka untuk menutupi pengeluaran politik praktis itu, alam dan lingkungan menjadi korban. Namun, nafsu Korawa memang akan menang untuk sementara. Namun, di masa depan, maka watak Pandawa pasti akan menang. Kedatangan KPK mungkin adalah bagian dari perjalanan marwah Pandawa untuk menyelematkan lingkungan alam, akibat galian C. Lembaga KPK adalah sebuah lembaga hukum, yang sejauh ini dapat dipercaya integritasnya. Semoga KPK dapat menyelamatkan manusia, alam, dan budaya Bali, dari serangan galian C.
Saya yakin, selama ini tidak ada kesadaran sosial budaya dalam proses aktivitas galian C di Bali. Kesadaran sosial budaya telah ditelan oleh kesadaran politik praktis yang libralis-kapitalistis. Seperti halnya kasus reklamasi di Teluk Benoa. Bahwa kesadaran sosial-budaya telah mampu mengalahkan kesadaran manusia, sehingga investor yang kapitalistis itu bisa tiarap-merayap. Mengapa tidak ada kesadaran sosial-budaya di kawasan galian C? Karena kondisi ekonomi penduduk di kawasan itu relatif miskin. Di samping itu, para investor di kawasan galian C itu, tidak pernah merasa cukup, selalu merasa miskin.
Uang selalu merupakan candu bagi manusia yang tidak memiliki kesadaran sosial-budaya atau kesadaran spiritual. Kesadaran spiritual akan muncul kalau nanti pihak KPK mampu membuka tabir para pemain di kawasan galian C. Kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara. Bagi kaum politisi yang ikut bermain-main dengan alam, maka istana dan penjara nyaris tak berbatas. Tinggal menunggu waktu saja. Kapan mereka menyeberang atau diseberangkan, dari istana ke penjara.
Hal yang sebaliknya akan terjadi pada manusia-manusia yang mengabdi pada alam. Tinggal menunggu waktu saja, kapan mereka akan diseberangkan dari penjara ke istana. Kita masih ingat pada trio negarawan kita, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir. Kita masih ingat pada Nelson Mandela, Mahatama Gandhi, Nehru, dll. Namanya akan terus tercatat dalam sejarah bangsanya. Mereka akan terus dikenang dari generasi ke generasi. Umurnya akan jauh melampaui batas-batas umur biologisnya. *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.