Oleh : Sri Begawan Agni Yogananda *)
Setiap orang pada hakikatnya adalah seorang pemimpin. Jika tidak memimpin pada tanggungjawab tertinggi yakni menjadi pemimpin negara, provinsi, kabupaten, dewan, organisasi, instansi, perusahaan, desa dinas, desa adat, paling tidak ia menjadi pemimpin di keluarga. Pemimpin itu sejatinya orang yang mempersembahkan dirinya untuk melayani orang banyak. Karena itu, ia bukan saja harus mampu merencanakan, mengelola dan memperbaharui keadaan, tetapi juga melakukan inovasi, serta memelihara kesejahteraan masyarakat atau komunitas pengikutnya.
Mengutip Kekawin Niti Sastra. “Masepi ikan desa tan hana mukya” maksudnya : amat sepi desa itu, jika tidak ada pemimpinnya. Kemudian dalam naskah Jawa Kuno, Nawa Natya disebutkan tentang tata cara memilih pemimpin pembantu raja. Raja dalam memilih pemimpin yang akan membantunya, menjalankan pemerintahannya diibaratkan seperti memilih bibit bunga yang akan disemaikan di taman bunga. Di dalam Lontar Nawa Natya disebutkan bahwa bibit bunga yang baik untuk disemaikan di taman bunga itu adalah bunga yang mekar. Selain bunga yang warnanya indah, harum, tahan lama, tidak disukai oleh hama penyakit, daunnya hijau dan tak mudah layu. Jadi, dalam memilih pemimpin yang akan membantunya, sang raja itu hendaknya berpedoman pada cara memilih bibit bunga sesuai konsep Nawa Natya yang terdiri dari :
Pradnya Widagda (Bijaksana dan Teguh Pendiriannya).
Bijaksana dan mahir dalam berbagai pengetahuan. Orang yang berilmu itu bukanlah orang yang hanya memiliki kemampuan mengadopsi ilmu yang diperoleh dari berbagai buku atau sumber sumber lainnya. Tetapi, ia yang mampu menjadikan ilmu itu sebagai alat untuk memperkuat eksistensi dirinya sebagai manusia. Orang itu bukan saja mampu menjadikan ilmu sebagai alat untuk memperkuat diri, namun juga mampu menjadikannya bijaksana. Orang yang demikianlah yang disebut Pradnya Widagda.
Parama Artha (Bersifat mulia dan luhur).
Memiliki cita cita mulia dalam hidupnya. “Parama” artinya mulia atau utama dan “Artha” artinya tujuan atau cita cita.
Wira Sarwa Yudha (Pemberani dan Pantang Menyerah).
Pemberani dalam menghadapi pertempuran. Dalam keadaan perang, pemimpin pembantu raja juga ikut berperang. Namun, dalam keadaan damai, sikap Wira Sarwa Yudha ini artinya tidak takut menghadapi persoalan yang ditemukan dalam melakukan tugas tugas kepemimpinannya. Ia tidak lari dari persoalan yang dihadapi melainkan persoalan dijadikan kesempatan untuk beryadnya. Artinya, melakukan sesuatu yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Dirotsaha (Tekin dan Ulet dalam Setiap Pekerjaan)
Teguh dan tekun dalam berupaya. Dirotsaha berasal dari kata “Dira” yang artinya teguh atau tekun. Sedangkan “Utsaha” itu artinya selalu tidak henti hentinya senantiasa berupaya. Contoh, akhir-akhir ini banyak persoalan mun cul. Kegaduhan terjadi di luar batas yang menimpa sebuah organisasi. Persoalan yang dihadapi tidak mudah untuk diselesaikan. Nah, di tengah situasi krusial itu, sangat dibutuhkan sikap teguh dan tekun seorang pemimpin dalam upaya mencari solusi penyelesaian terbaik atas masalah yang dihadapi.
Pragi Wakya (Pandai Berbicara atau Berdiplomasi)
Pandai menyusun kata-kata dalam pembicaraan. Salah satu tugas pemimpin adalah menyampaikan buah pikirannya dalam suatu pembicaraan yang dapat dimengerti dengan baik oleh pihak lain. Kemampuan itu akan diperoleh melalui kegemaran membaca dan latihan berbicara. Pemimpin haruslah memiliki kemampuan dan menguasai public speaking agar tidak belepotan setiap berbicara di depan publik. Setiap perkataan pemimpin pasti akan menjadi pembicaraan di kalangan rakyat. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya berhati-hati mengeluarkan pernyataan. Jika kepleset, besar dampaknya. Pemimpin saat ini mesti belajar dari Sang Proklamator Soekarno setiap berpidato.
Sama Upaya (Satya Wacana, Setia pada Janji)
Taat dengan janji. Menepati janji adalah salah satu cara pemimpin untuk memelihara kepercayaan masyarakatnya. Karena itu, seorang pemimpin tidak boleh sembarangan mengumbar janji. Misalnya, hanya demi ambisinya untuk memenangkan pemilihan. Setiap janji haruslah dipikirkan dan dianalisa secara mendalam, apakah janji itu akan bisa ditaati (ditepati, direalisasikan) atau tidak. Jika janjinya paslu atau omong kosong, maka cepat atau lambat, kepercayaan rakyat akan hilang. Sebab, kepercayaan itu adalah nafas bagi seorang pemimpin.
Lagha Wangartha (Tidak Pamrih pada Harta Benda).
Tidak memiliki kepentingan pribadi yang sempit (pragmatis, sesaat). Perbuatan baiklah yang akan memberikan hasil yang baik. Karena itu berkonsentrasilah untuk berbuat baik sesuai dengan swadarma seorang pemimpin.
Wruh Ring Sarwa Bhastra (Bisa Mengatasi segala Kerusuhan).
Memiliki dan mengusai manajemen krisis. Mengetahui cara mengatasi kerusuhan. Memiliki berbagai upaya untuk melakukan pencegahan serta konsep mengatasinya.
Wiweka (Dapat Membedakan Mana yang Baik dan Buruk)
Wiweka artinya kemampuan untuk dapat membeda bedakan mana benar-salah, mana yang tepat dan kurang tepat. Mampu mengambil sikap, mana yang lebih penting dan kurang penting. Hal itu, tidak dapat diperoleh hanya dengan membaca buku, melainkan harus dilakukan melalui latihan-latihan yang tekun disamping juga karena potensi bakat. Menjadi seorang pemimpin mungkin lebih mudah mendapatkan kedudukan daripada menjalankan amanat dan mewujudkan harapan komunitas yang dipimpinnya. Kata kuncinya adalah bukan hanya “merasa pintar”, tetapi lebih “pintar merasakan” apa yang sedang dirasakan rakyat atau komunitas yang dipimpinnya.
Kepemimpinan Astabrata
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibhisana sebelum ia memegang tampuk kepemimpinan Alengka Pura pasca kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Hal ini disebutkan dalam Manu Smrti IX. 303. Konsep dan ajaran mulia Astabrata itu merupakan delapan landasan sikap mental yang patut diaplikasikan oleh seorang pemimpin. Konsep dan ajaran Asta Brata ini diterapkan oleh Presiden Soeharto hingga beliau bisa berkuasa sampai 32 tahun di negeri ini. Berikut adalah delapan konsep Asta Brata.
- Indra Brata : Bersikap arif bijaksana tanpa pilih kasih terhadap siapa pun yang dipimpinnya
- Yama Brata : Berlaku adil dalam menentukan sanksi bagi siapa saja yang telah dinyatakan bersalah tanpa pandang bulu atau tebang pilih.
- Surya Brata : Senantiasa memberi tuntunan dan penerangan bagai Sang Surya menyinari dunia.
- Candra Brata : Memberikan kesejukan, lemah lembut, ketenangan atau kedamaian laksana Sang Candra bersinar di malam hari.
- Bayu Brata : Selalu berada di tengah komunitas (rakyat) untuk mendengar langsung apa yang dirasakan, kehendak (bayu) rakyat dan memberikan angin segar untuk para Kawula alit atau wong cilik.
- Kuvera Brata : Terus-menerus mengusahakan kesejahteraan, kemakmuran secara adil dan merata sebagaimana bumi memberikan kesejahteraan bagi umat manusia seperti Sang Hyang Kuvera menata kesejahteraan di kahyangan.
- Varuna Brata : Menjadi tempat berlindung bagi seluruh masyarakat dari segala keadaan yang tidak menyenangkan atau membebaskannya dari segala penderitaan, kejahatan atau penyakit masyarakat, sebagaimana Sang Hyang Varuna membersihkan segala kekotoran di laut.
- Agni Brata : Terus memelihara dan menggelorakan semangat untuk membangun kebersamaan, mengatasi serangan musuh dan membakarnya sampai habis bagaikan Sang Hyang Agni.
Selain Asta Brata, masih banyak ajaran kepemimpinan yang bisa diterapkan oleh seorang pemimpin jika mau sukses sebagai pemimpin. Konsep-konsep kepemimpinan itu misalnya Sad Warnaning Rajaniti (Sad Sasana), Catur Komaning Nrpati, Tri Upaya Sandi, Panca Upaya Sandi, Panca Dasa Pramiteng Prabhu (15 Sifat Utama Pemimpin), Sad Upaya Guna, Panca Satya dan lain-lain.
Seorang pemimpin memang dituntut untuk memiliki kelebihan dibandingkan rakyat biasa. Namun, disadari tidak ada “Superman” yang mampu mengerjakan semuanya. Karena itu dibutuhkan kemampuan membentuk team work (tim kerja) untuk bekerja sama – yang solid adalah kunci keberhasilan seorang pemimpin di level mana pun. *) Penulis adalah Anggota Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Masa Bhakti 2021-2026.