Selain ide membangun jalur kereta api di sepanjang pantai Pulau Bali, rencana pembangunan Bandara Buleleng mulai dimunculkan oleh Ir. Jero Wacik, S.E saat pria asal Kintamani, Bali itu menjabat Menteri Pariwisata di era Presiden SBY. Saya menentang keras rencana pembangunan Bandara Buleleng itu. Agak lama ada polemik terkait itu, sampai akhirnya saya diundang oleh Jero Wacik dan masalah itu disinggungnya.
Saya hanya senyum dan angguk-angguk saja mendengar argumentasinya. Setelah agak lama berdiskusi, akhirnya kita pahami bahwa ayah saya dan ayahnya Jero Wacik (Guru Santi) adalah satu tim dalam perang kemerdekaan di Bali. Akhirnya secara pribadi hubungan saya dengan Jero Wacik sangat baik (hingga saat ini). Meskipun Jero Wacik masih berada di LP Sukamiskin. Tetapi saya tetap tidak bergeser, untuk tetap tidak setuju dengan rencana pembangunan bandara di Buleleng itu.
Ketika Gubernur Bali Made Mangku Pastika kembali menghidupkan wacana pembangunan Bandara Buleleng, maka saya pun masih tetap menentangnya. Saya mengirim surat kepada Presiden dan Menteri Perhubungan saat itu, agar pembangunan Bandara Buleleng itu dibatalkan. Mungkin alam yang menghendaki, khabar terbaru, bahwa pembangunan bandara itu sudah out (dicoret) dari rencana strategis pemerintah (Perencanaan Strategis Nasional atau PSN). Harapan saya, semoga paa Pemilu 2024 nanti, bisa muncul pimpinan pemerintahan yang baru yang tidak semata-mata hanya pro pada sektor pariwisata tapi lebih memberi perhatian kepada sektor pertanian dan kelestarian alam-lingkungan Bali. Bandara Buleleng dan juga jalan Tol Gilimanuk-Mengwi (Gilimawi) tampaknya ditujukan untuk menunjang sektor pariwisata. Meskipun harus mengorbankan banyak hutan dan lahan sawah produktif.
Sudah lama terdengar wacana, agar ekonomi Bali tidak boleh hanya tergantung pada sektor pariwisata. Mantan Menteri Bambang Brodjonegoro mengumpamakan bahwa kesalahan pembangunan ekonomi Bali selama ini adalah, “seperti menaruh telur dalam satu keranjang”. Semua kebijakan digantungkan pada sektor pariwisata. Pariwisata ditempatkan sebagai penghela pembangunan Bali. Ketika penghelanya ambruk, maka ambruklah semua sistem perekonomian Bali. Fakta ini telah terjadi saat pandemi Covid-19. Sektor pariwisata benar-benar ambruk. Ratusan ribu karyawan pariwisata menganggur dan sebagian “terpaksa” bercocok tanam untuk menyambung hidupnya. Sebelumnya bahkan telah diberikan pengalaman oleh alam, dalam bentuk perang Irak-Iran, dan lainnya. Tetapi tampaknya kita seperti orang tua, yang ingin berkali-kali kehilangan tongkat.
Memang demikianlah watak manusia. Manusia selalu ingin bebas, ingin gampang, ingin seenaknya, ingin kesejahteraannya melonjak linier, ingin agar investasi sekali saja, lalu dipetik untungnya berkali-kali. Karena itulah, manusia diangurahi hati nurani dan logika. Untuk apa? Untuk menjadi koridor dalam perjalanan hidupnya. Tetapi kalau manusia itu sendiri kembali ingin liar, karena itulah pasti akan terjadi trade off. Bahwa alam (pasti) akan mencari titik keseimbangannya yang baru.
Setelah pariwisata bangkrut dan ekonomi Bali kolap, mulailah dihidupkan kembali pemikiran bahwa, janganlah seluruh Bali dijadikan sebagai pusat pengembangan pariwisata. Sudahlah, relakanlah hanya Bali Selatan menjadi pusat pariwisata. Tokh hasilnya 30 persen disumbangkan untuk pembangunan di semua kabupaten di Bali. Bahkan Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta sempat berkeliling Bali untuk menyerahkan dana-dana tersebut (sebelum Pilgub Bali 2018).
Selanjutnya, biarkanlah Bali Barat dikembangkan sebagai pusat pengembangan perikanan, Bali Timur sebagai pusat pegembangan peternakan, dan Bali Utara sebagai pusat pengembangan pertanian/hortikultura. Semua bagian-bagian Bali itu di-strategikan sebagai hinterland untuk menunjang pariwisata di Bali Selatan.
Pengawasan pemerintah seharusnya ketat. Bahwa produk pertanian dari bagian Bali yang lain, agar betul-betul diserap oleh sektor pariwisata di Bali Selatan. APBD harusnya diarahkan ke arah itu. Di sinilah kiranya makna konsep pembangunan satu pulau dan satu tata kelola (one island, one management), diimplementasikan. Atau mungkin dalam istilah pembangunan Prof. Cok Ace, disebut sebagai pembangunan dengan konsep Padma Bhuwana.
Jadi, janganlah setiap jengkal tanah Bali ditanami aspal, besi dan beton. Hal ini akan mengundang banyak migran datang dan menetap di Bali yang menjadikan Bali overload, penuh sesak (meminjam istilah Ir. Nyoman Gelebet, alm) akibat bonus demografi. Sebaiknya, biarkanlah Banyuwangi didukung pengembangan pembangunan pariwisatanya, sebagai bamper dari migran yang mengalir dari Lumajang, Jember dan Banyuwangi ke Bali. Biarkanlah Flores (Labuhan Bajo) dan Lombok (Mandalika) berkembang pariwisatanya, sebagai bamper dari migran yang mengalir dari Sumba, Flores, Lombok dan sekitarnya. Kalau hal itu tidak dilaksanakan, dan pembangunan hanya Jawa-Bali sentris, maka Bali akan terancam oleh anthropogeografi. Bila hal itu terjadi, maka Bali secara pelan tapi pasti, akan memudar kehidupan kebudayaannya, hingga akhirnya akan lenyap (sirna ilang kerthaning bumi).
Oleh karenanya, menurut saya, memang sebaiknya pembangunan Bandara Buleleng, dibatalkan saja. Pembangunan jangan hanya Bali sentris. Bali yang sudah sesak dengan beton, besi, baja, semen dan manusia, lalu disesaki lagi dengan beton, besi, baja, dan manusia (migran) yang lain. Cukuplah sampai di sini saja. Rakyat Bali harus disadarkan tentang masa depannya, kalau terlalu rakus dan loba. Sebaiknya sebarkan dana dan daya pemerintah yang terbatas, untuk pembangunan yang bersifat Indonesia sentris (meminjam istilahnya Jokowi). Bali juga harus menghitung daya dukung dan daya tampungnya secara alami, jangan dipaksa-paksa. Inilah cara untuk memuliakan alam, budaya, dan manusia Bali tentu dengan budayanya yang unik-adihulung.
Resiko politik dan keamanan pada saat awal-awal Indonesia merdeka, harus terus-menerus menjadi renungan kita, yang pro NKRI. Jangan biarkan lagi kita kehilangan tongkat untuk ke sekian kalinya, sebagai akibat dari pembangunan nasional yang tidak merata di Indonesia. Terlalu mahal darah yang diteteskan oleh para pejuang kemerdekaan kita. Kemudian untuk dirusak oleh para pejabat, politisi busuk, yang hanya memikirkan citra karier politiknya selama 5-10 tahun ke depan. Intinya, saya menolak keras rencana pembangunan Bandara Buleleng. *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.