Menyoal Polemik Sampradaya
Sejatinya PHDI Bali dan MDA Tetap Selaras, Wangsa Bali Tetap Harmonis

DENPASAR. Menyikapi komentar-komentar yang mempertentangkan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Bali dengan  Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, dalam menangani polemik Sampradaya Asing vs Hindu Dresta Bali (Sampradaya “Bali”) dalam 3 tahun ini, bahwa kenyataan yang terjadi di lapangan, Pengurus PHDI dan MDA, baik di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai ke desa-desa, terlebih-lebih di dalam masyarakat, suasana tetap harmonis, selaras, paras-paros dan tetap melakukan pelayanan kepada umat/Wangsa Bali sesuai tugas masing-masing. Terbukti berbagai kegiatan adat dan agama, baik bersekala kecil-besar, personal-masal, tetap berjalan lancar di 1.497 Desa Adat di Bali. Hal itu ditegaskan Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si, beberapa hatri lalu terkait polemik sampradaya dan statement Ratu Sukahet pada  5 Juni 2022 di Pura Ulun Danu Batur yang antara lain menyatakan hendak mengusir umat Hindu ke luar Bali (bagi yang dituduh ikut sampradaya asing), jika tidak bisa dibina dan tidak bisa disadarkan.

Walaupun Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet yang sepertinya dalam data kependudukan (KTP) masih bernama I Dewa Gede Ngurah Swastha melontarkan beragam komentar, yang di antaranya viral dan mengesankan adanya ‘’benturan’’ MDA dengan PHDI,  Wayan Jondra  menegaskan, ’’Jujur, sepanjang pengamatan saya,  dalam 2 dan 3 tahun ini, dua lembaga ini, PHDI Bali dan MDA Prov. Bali  sudah mengakomodasi berbagai tuntutan mereka yang protes melalui SKB PHDI-MDA tertanggal 16 Desember 2020, tentang pembatasan pengembangan Sampradaya Asing Hare Krishna/ISKCON, yang ditolak di medsos oleh sekelompok kecil umat Hindu Penganut Dresta Bali/Sampradaya “Bali” (maaf, jika kurang tepat, karena sulit mencari lawan kata dari Sampradaya Asing)”.

Menurut pengamatan Wayan Jondra, pembatasan sesuai SKB PHDI-MDA itu dilakukan untuk menjaga kerukunan, mencegah potensi konflik yang lebih besar, karena pada waktu SKB ditandatangani tahun 2020, suara dan tuntutan keras melalui delegasi, unjuk rasa dan pernyataan di media sosial, sangat keras dan diinventarisasi oleh PHDI Bali.

Jondra  yang mengikuti pemberitaan di media, sudah mengetahui bahwa PHDI Bali meminta pencabutan pengayoman Hare Krishna melalui surat per tanggal 1 Agustus 2020, kemudian diperkuat dengan Keputusan Paruman 3 organ PHDI Bali, 27 Agustus 2020. Selanjutnya, diperkuat lagi dengan Rekomendasi Pasamuhan Agung Paruman Pandita PHDI se-Bali, 10 Juni 2021 di Pura Agung Besakih. Penegasan Paruman Pandita PHDI se-Bali, meminta pengayoman Hare Krishna/ISKCON dicabut, ajarannya ditolak, dan memerintahkan pengurus PHDI untuk merangkul kembali semeton penganut Sampradaya Hare Krishna/ISKCON dan Sampradaya lain yang ditolak, agar kembali ke dresta leluhur Hindu di Bali.

Pernyataan Pribadi Sukahet

Jadi, sepengetahuan Jondra, hingga saat ini belum pernah ada surat MDA berdasarkan hasil rapat pengurus MDA untuk melakukan tindakan ‘’colek pamor’’, meminta melakukan ‘’Guru Piduka dan  Upasaksi’’, apalagi meminta ‘’meninggalkan Bali’’ bagi umat yang dituduh tidak bisa dibina dan disadarkan. “Sehingga patut diduga, narasi itu murni merupakan pernyataan pribadi  Ida Sukahet, bukan hasil peruman MDA Provinsi Bali” tegas Jondra.

Jondra juga melihat, bahwa langkah kongkret pencabutan pengayoman ISKCON dilakukan oleh PHDI Pusat, 30 Juli 2021 dan Pengayoman Sampradaya di AD/ART dicabut dalam Mahasabha XII di  Jakarta. Sehingga keinginan mereka sudah dipenuhi. Jika belakangan muncul  lagi beberapa pendapat yang menambah-nambahkan, maka menurut Jondra itu  terkesan mencari-cari masalah.  Hal ini tentu membuat keruh suasana di media sosial. Namun, astungkara krama adat di Bali masih cerdas dan tidak terprovokasi oleh hasutan dari akun-akun tak bertanggung jawab.

‘’Tuntutan, aspirasi, masukan, sudah ditindaklanjuti melalui berbagai keputusan, di PHDI Bali bersama MDA Bali, maupun di PHDI Pusat dan Mahasabha XII. Kalau masih ada tuntutan yang dianggap belum dipenuhi, silakan terus berdialog dan mohon tidak ada niatan untuk menciptakan situasi keruh, membentur-benturkan kelompok, apalagi mencoba menggesek-gesek seakan PHDI dengan MDA itu tidak selaras, sehingga sebagian masyarakat sudah menangkap bahwa isu ini adalah isu politik untuk kepentingan 2024’’ tegas Jondra.

Ketika kisruh berlangsung, lalu berbuntut pada penutupan Ashram Hare Krishna di Padanggalak, Kesiman, kemudian   PHDI Bali dan MDA Bali akhirnya dilaporkan ke Komnas HAM dengan tuduhan melakukan pelanggaran HAM, gara-gara mengeluarkan SKB PHDI-MDA tertanggal 16 Desember 2020. Karena itulah, menurut Jondra, setelah bertemu dengan berbagai pihak, Komnas HAM RI, akhirnya mengeluarkan surat tertanggal 27 Agustus 2021 tentang Rekomendasi Komnas HAM RI  Kasus Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Yayasan ISKCON-Indnesia-Bali.

Untuk diketahui, dalam surat Komnas HAM RI tertanggal 27 Agustus 2021 tersebut, Gubernur Bali Wayan Koster direkomendasikan untuk melakukan 6 (enam) butir. ‘’Mestinya rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti dan diatensi serius. Namun, entah mengapa, ini sampai sekarang belum ada langkah apa pun.  Justru yang berkembang adalah narasi-narasi yang menjadi polusi opini, bernada hasutan, provokasi dan semakin jauh dari solusi” imbuhnya.

Jondra mengurai secara rinci rekomendasi Komnas HAM RI yang ditujukan kepada Gubernur Bali yaitu:

  1. Menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama para pengikut ISKCON Indonesia dan Perkumpulan ISKCON di tempat-tempat ibadah yang selama ini digunakan.
  2. Mengedepankan dan memberikan tawaran-tawaran penyelesaian sengketa keberagamaan terkait keberadaan ISKCON berdasarkan prinsip hak asasi manusia (HAM).
  3. Menyediakan ruang dialog dengan menetapkan zona damai di masing-masing tempat ibadah dalam upaya penanganan permasalahan ini dengan memberikan ruang kepada PHDI dalam upaya memfasilitasi dialog.
  4. Menjamin pemenuhan hak rasa aman  dengan mengedepankan dialog partisipatif, antar elemen masyarakat dan menghindari pendekatan keamanan dan ketertiban dalam penyelesaian sengketa yang ada.
  5. Melakukan upaya pemulihan psikologis terhadap mereka yang terdampak dalam persoalan ini, dan;
  6. Bersama dengan Kapolda Bali dan seluruh pemimpin daerah untuk terus memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Jika dibaca kembali, bahwa rekomendasi Komnas HAM RI itu tak hanya kepada Gubernur Bali, tetapi juga kepada Polda Bali, Kementerian Agama RI cq Ditjen Bimas Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Yayasan ISKCON-Indonesia dan Perkumpulan ISKCON Indonesia. “Jika Lembaga-lembaga yang diberikan rekomendasi tidak melaksanakan rekomendasi Komnas HAM RI, maka dapat diduga lembaga-lembaga tersebut melakukan pembiaran terhadap Tindakan pelanggaran HAM di Bali” ungkap Jondra.

Semua lembaga tersebut, kata Jondra, hendaknya membuka kembali rekomendasi tersebut dan menindaklanjutinya dan menyelesaikannya. Ini penting karena Komnas HAM melaksanakan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, pasal 89 ayat 4 huruf d tentang Hak Azasi Manusia mengatur bahwa “Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Komnas HAM bertugas dan berwenang  melakukan  penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya”. Jadi, menurut Jondra, pemerintah wajib menindaklanjuti dan mencari penyelesaiannya, bukan justru melakukan pembiaran.

Pandangan Sempit, Meniadakan Keragaman dan Mengusir Krama Bali

Pembina Umum Paiketan Krama Bali, Dr. I Wayan Mertha, M.Si angkat bicara menyikapi statement colek pamor dan mengusir semeton dari Bali yang dilontarkan I Dewa Ngurah Sastha yang bergelar Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet. Pembina Paiketan ini mempertanyakan tuduhan Sukahet kepada semeton Hindu di Bali sebagai pemeluk ajaran Sampradaya Asing,  memangnya ada Sampradaya Nasional atau Lokal? Apakah tuduhan tentang penyebaran sampradaya itu sebuah fakta atau hanya opini bahkan khayalan ? Kalau sampradaya itu salah, dan tidak boleh berkembang di Bali bahkan orangnya harus enyah dari Bali, gimana dengan sampradaya lain yang justru mengubah banyak semeton Bali (pemeluk agama Hindu Dresta Bali) menjadi pemeluk agama lain, kenapa mereka semakin banyak saja di Bali ?

“Maaf, kok sempit begitu ya pandangannya (Ratu Sukahet, red), Hindu dengan segala keragamannya TIDAK BOLEH DI BALI, lantas Agama lain kenapa boleh leluasa?“ tanyanya geram. Menurutnya, kalau Bali mau dibersihkan dari HINDU NON-DRESTA BALI, semestinya penganut agama lain juga Nggak Boleh ada di Bali, biarlah isinya Bali HANYA HINDU DRESTA BALI, yang lain SURUH Mepamit Uli Tanah Bali. “Katanya beliau Ketua FKUB. Kenapa antarumat lain (beda agama) “Rukun”, sementara dengan umat sendiri kita mecongkrah. Oleh karena itu,  maka saya mau tanyakan,  KERUKUNAN yang dimaksud itu seperti apa ?” tegasnya bernada sangat kesal dan mengaku tak habis pikir dengan pandangan sempit Ratu Sukahet.

Salah satu the Founding Father Gema Perdamaian, Ida Rsi Wisesanatha menilai, masalah dan situasi di Bali saat ini menjadi cukup pelik gara-gara statement yang nyeleneh. “Saya menyarankan untuk kembali ke jurus dasar yaitu dengan basis kasih untuk saling menghormati. Janganlah bersikap jumawa dan merasa paling benar dan serba menuding menyalahkan bahkan dengan serampangan emosional yang tak menunjukkan bahwa kita adalah insan yang tak beragama dan beradab” ujar Ida Rsi.  Beliau berharap kepada Gubernur selaku pemimpin di Provinsi Bali dan menunjukkan kepemimpinan yang penuh kasih dan netral merangkul semua pihak untuk mengurai permasalahan demi kita bersama dan demi Bali kita bersama. “Cobalah untuk bertindak ideal dan bijaksana. Hindari sikap skeptis, judgemental dan emosional. Buktikanlah !” ajaknya.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email