Oleh : Wayan Windia *)
Hiruk-pikuk politik praktis Indonesia khususnya soal capres-cawapres di Pemilu 2024, dimulai dengan terbentuknya Koalisi Indonesia Baru (KIB) antara Golkar, PAN dan PPP. Kemudian menyusul partai-partai lain membangun kerjasama. Taruhlah Prabowo Subianto (Gerindra) dan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin (PKB). Silaturahmi politik PKS ke Surya Paloh (Nasdem), disusul kunjungan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke Nasdem walaupun belum pada keputusan berkoalisi. Sementara itu, tatkala rapat kerja nasional (rakernas) PDI Perjuangan ada statemen Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang cukup menggemparkan jagat perpolitikan tanah air. Bahwa ia akan memecat kalau ada kadernya yang bermanuver. Ia akan memecat, kalau ada kadernya yang berbicara tentang koalisi. “Koalisi no, kerjasama yes” katanya. Megawati juga akan memecat kadernya yang tidak setuju pada prinsip kesetaraan gender.
Kata-kata Megawati sangat “pedas” ini memunculkan reaksi baik di internal maupun eksternal PDIP. Bahwa, apa yang diungkapkan Megawati dianggap sebuah kesombongan (politik). Setidaknya salah satu Ketum Parpol menyindir kesombongan Megawati itu. Tetapi celoteh Megawati itu sangat manusiawi. Karena ia merasa memiliki partai besar dan sedang berkuasa. Kekuasaan Megawati di PDIP mirip dengan kekuasaan Pak Harto. Tatkala Pak Harto masih sebagai Pembina Golkar di masa lalu. Bedanya, Pak Harto diam-diam saja. Tidak pernah berceloteh seperti Megawati. Golkar justru yang tahu diri.
Selanjutnya, esensi yang lain dari pidato Megawati dalam rakernas itu adalah, ia menyiratkan akan mencalonkan anaknya, Puan Maharani sebagai calon presiden (capres). Ide itu pun adalah hal yang biasa-biasa saja. Sangat manusiawi. Pertanyaannya, siapa seorang ibu yang tidak sayang kepada anaknya? Meskipun hal itu terjadi dalam dunia politik. Apalagi Megawati memiliki wewenang dan hak prerogatif dari partai yang dipimpinnya untuk menentukan capres. Puan Maharani juga memiliki karier politik yang aduhai.
Jauh sebelum ribut-ribut soal figur capres, saya banyak mendengar dari para kader PDIP. Bahwa Megawati tampaknya akan mengkader Ganjar Pranowo sebagai pengganti Jokowi. Tak dinyana, tampaknya memang betul, Ganjar mendapat sorotan publik yang sangat positif. Elektabilitas Ganjar di berbagai polling lembaga survai, selalu masuk tiga besar figur bakal capres. Sementara Puan jauh tertinggal karena elektabilitasnya sangat amat rendah (kurang dari 3 %). Mungkin fakta inilah yang membuat Megawati “tersinggung”. Belum ada komando apa-apa, kok nama Ganjar sudah melesat. Ada “bau-bau” politik, di mana Ganjar dianggap bermanuver. Mungkin tim-nya Ganjar (sahabat Ganjar) memang sangat aktif dan cerdas. Dukungan kepada Ganjar muncul di berbagai daerah. Karena keenakan “bermain”, mereka tidak paham bahwa mereka sudah jauh menyentuh batas-batas psikologis puncak pimpinan partai.
Kembali ke Puan, wanita yang balihonya tersebar di seluruh pelosok negeri ini akhirnya diberikan mandat oleh Megawati untuk melakukan silaturahmi dengan partai-partai lain. Puan mengatakan, jangan dianggap PDIP tidak ingin bekerjasama dengan partai lain. “Saya sudah diberikan tugas oleh Ketum untuk melakukan silaturahmi dengan partai lain” katanya. Hal itu sudah dikatakan Puan lebih dari satu minggu yang lalu. Tetapi hingga kini, tugas yang diberikan kepada Puan, belum juga terlaksana.
Mungkin ia sedang sibuk-sibuknya. Mungkin juga, karena ia belum mampu memformulasikan substansi yang akan disampaikan. Atau entah bagaimana. Sementara itu, gaduh antarparpol tentang capres di luar PDIP, sudah mulai mendingin. Itulah sebabnya, saya katakan pada judul tulisan opini ini, bahwa silaturahmi Puan sudah kehilangan momentum. Tetapi bisa saja Puan membuat jagat politik Indonesia menjadi gaduh kembali, bila ia mampu membuat keputusan politik yang out of the box.
Bahwa dengan posisi parpol-parpol saat ini, hanya PDIP yang belum menyatakan sikapnya (mau maju sendiri atau berkoalisi). Mungkin karena PDIP sangat percaya diri, bahwa ia mampu mengusung calon presiden sendiri tanpa perlu dukungan parpol lain. Tetapi ada yang bilang, untuk bisa menang ‘kan tidak hanya butuh 20%. Perlu lebih dari itu. Nah, di sinilah esensinya. Bila nanti betul PDIP akan bersilaturahmi dengan partai lainnya. Kemudian menyatakan akan berkoalisi, maka inilah yang saya maksudkan sebagai aliran politik out of the box.
Tentu saja itu adalah suatu keputusan politik PDIP yang tak terduga. Bila hal ini menjadi kenyataan, maka peta politik Indonesia akan kembali cair dan berubah total. Mungkinkah Puan berani “melawan” Megawati ? Tampaknya kecil sekali kemungkinannya. Karena selama ini PDIP sudah menyatakan garis-garis politiknya dalam rakernas, seperti yang disampaikan Megawati. Tetapi karena tujuan politik adalah mencari kemenangan dan kekuasaan, apa pun bisa saja terjadi. Megawati bisa saja berubah, setelah ia memahami situasi dan perkembangan politik Indonesia di masa-masa yang akan datang.
Kalau PDIP ingin menang lagi, maka sebaiknya partai banteng moncong putih ini mesti berkoalisi. Tentu saja dengan partai lainnya sesama nasioalis. Kalau tidak, dan PDIP jalan sendiri, maka tampaknya (dikhawatirkan) PDIP akan kehilangan mahkotanya. Memang tidak ada kekuasaan yang abadi. Siklus 10 tahunan akan terulang. Tetapi kekuasaan adalah candu. Karena sudah keenakan berkuasa dan dianggap rakyat sudah terbius (padahal belum tentu, hati rakyat siapa yang tahu), maka sebuah partai akan selalu ingin menggenggam kekuasannya dengan lebih erat.
Baiklah, kita akan lihat peta politik dalam satu minggu ke depan. Bila Puan tidak melakukan janjinya (tugasnya) untuk melaksanakan silaturahmi, maka hal ini adalah gejala bahwa PDIP akan mencalonkan kadernya sendiri tanpa perlu dukungan parpol lain. Dengan demikian, akan muncul empat kandidat presiden. Pertanyaannya, siapa akan dicalonkan oleh PDIP?
Bila Puan yang akan dimunculkan, maka tampaknya (menurut prediksi banyak orang), ia akan sulit mendapat dukungan rakyat. Selama ini Puan tidak pernah menjadi “buah bibir” dalam percakapan di kampus-kampus, obrolan warung-warung kopi atau di pos kamling. Kalau mau jujur, percakapan-percakapan seperti itu adalah gejala mikro yang bisa mewakili suara masyarakat yang lebih luas (grassroot). Selanjutnya, apakah mungkin PDIP mencalonkan Ganjar? Keputusan mengusung Ganjar adalah juga sebuah keputusan out of the box. Tetapi selama ini, hanya Jokowi yang mampu membuat keputusan-keputusan out of the box. *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.