Dunia di Bawah Bayang-bayang Krisis Pangan 
Stop Menghancurkan Sawah demi Infrastruktur Non Pertanian

Wayan Windia, sumber balipotika.com
Wayan Windia, sumber balipolitika.com

Oleh : Wayan Windia *)

Presiden Jokowi mengatakan, di mana-mana masalah manusia di dunia saat ini adalah pangan dan energi. Menurut saya, dari dua masalah manusia itu, pangan adalah masalah  paling utama. Sebab, pangan adalah terkait dengan urusan perut. Manusia yang lapar akan cepat sekali naik darah, memaki-maki, melakukan kekerasan bahkan merusak apa saja.

Oleh karenanya, di masa kritis ini,  Jokowi perlu berpidato secara khusus kepada bangsanya. Betapa pentingnya ketersediaan pangan bagi 270 an juta lebih penduduk Indonesia. Tujuannya, untuk mampu membangun kesadaran bahwa rakyat bersiap-siap dengan budaya dan pola hidup sederhana, tidak konsumtif untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Saya kira saat ini, Jokowi memiliki kapabilitas untuk hal itu. Ia masih di-gugu dan ditiru oleh rakyat Indonesia (khususnya yang masih berpikir waras). Karena Jokowi sendiri hidupnya memang sederhana, sama dengan kebanyakan rakyat Indonesia.

Dengan demikian angaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan juga anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan dan kebutuhan pangan rakyat. Juga dialokasikan untuk subsidi langsung kepada rakyat termiskin agar daya belinya terjaga. Kurangi subsidi untuk energi. Subsidi kepada energi bukanlah subsidi untuk rakyat yang termiskin. Paling-paling dinikmati oleh kalangan kelas menengah ke atas (middle – up).

Tapi justru masyarakat di kelas (bawah) inilah yang paling berpengaruh secara politis. Penyadaran terhadap stratum masyarakat (bawah) ini, hanya bisa dilakukan oleh Jokowi. Kesederhanaan Jokowi perlu diikuti oleh pejabat lainnya di pusat dan daerah. Secara teoritis, tidak gampang untuk menurunkan tingkat konsumsi, gaya hidup, bila pendapatan menurun. Hal tersebut hanya dapat diatasi dengan pendekatan politis.

Ketersediaan Lahan Pertanian

Berbicara masalah pangan, ada tiga dimensi yang harus dibahas. Yakni, produksi, distribusi dan keamanan pangan. Produksi pangan, sangat bergantung dari lahan untuk memproduksi pangan. Kalau lahan pertanian terus-terusan dihancurkan untuk kepentingan infrastruktur, maka produksi pangan sudah pasti akan anjlok. Ini pasti. Karena proses intensifikasi pertanian telah menemui jalan buntu. Produktivitasnya sudah stagnan. Itulah sebabnya pemerintah melakukan kebijakan ektensifikasi  pembangunan rice estate di Kalimantan, di bawah komando Menhan Prabowo Subianto.

Meskipun kebijakan rice estate banyak dikritik, namun masih mending ada kesadaran kebijakan seperti itu, dibandingkan tidak ada sama sekali.  Namun, yang lebih baik adalah memelihara dan membina sistem pertanian pangan yang sudah ada. Mengapa ? Karena sudah teruji agroklimatnya, sistem irigasinya, sistem pertaniannya dan sosio-kultural masyarakatnya. Hanya dengan memberikan proteksi dan subsidi kepada petani, dalam bentuk harga yang menguntungkan, petani akan lebih bergairah. Minimal, sawahnya tidak akan dijual. Alangkah fatalnya, bila petani sudah memutuskan untuk menjual sawahnya. Jika itu terjadi, maka hilanglah budaya tetua kita, budaya pertanian. Linggih Dewi Sri (dewi kemakmuran) terancam tergusur.

Mencermati posisi petani saat ini (yang selalu merana dan labil), maka dengan sangat mudah investor dan pemerintah bisa meyakinkan petani bahwa sebaiknya tanah sawahnya dijual saja. Petani pasti ikut, karena mereka punya harapan-harapan, impian-impian hidup enak, bebas lumpur. Meskipun nyatanya, harapan itu kosong. Harapan dan impian itulah yang sangat membahayakan keberlanjutan sistem ekonominya dan membahayakan masa depan generasinya.

Mungkin itu sebabnya, kenapa Pemda Bali dengan mudahnya memberikan restu kepada investor. Yakni untuk membabat dan menghancurkan sawah-sawah di sepanjang rencana pembangunan jalan tol Gilimanuk-Mengwi (Gilimawi). Gubernur Bali Wayan Koster juga dengan ringan saja mengatakan bahwa lahan-lahan yang digunakan untuk pembangunan jalan tol Gilimawi adalah lahan yang tidak produktif. Kalau rakyat kelas bawah mungkin percaya itu.

Tetapi, seandainya pemerintah daerah (Bali) memiliki kesadaran untuk memihak petani dan pertanian, maka justru lahan yang tidak produktif itu diarahkan untuk dikembangkan agar produktif. Jangan justru sebaliknya, dihancurkan untuk pembangunan infrastruktur, tanam beton dan aspal. Dalam suatu diskusi yang diadakan BEM Unud, saya pernah berbiacara keras dengan utusan Pemprov. Bali berkait dengan eksistensi sawah di Bali. Bahkan saya sempat “mengancam” tentang konsekwensi yang akan dihadapi, bila  Bali tanpa sawah.

Saya membaca di medsos tentang situasi ekonomi dunia saat ini. Bahwa Amerika Serikat yang maju teknologinya, ternyata mengalami inflasi yang tertinggi dalam kurun waktu 41 tahun terakhir. Hal itu disebabkan, karena Amerika Serikat kurang meperhatikan sistem pertanian dan lebih fokus pada industri bercerobong asap.

Saya memiliki teman Amerika di New York yang lama tinggal di Bali.  Ia juga memberi khabar bahwa pemerintah Amerika tidak banyak memberikan perhatian pada sektor pertanian. Sehingga generasi muda Amerika tidak suka terjun ke sektor pertanian. Amerika mengandalkan hampir sebagian besar kebutuhan bahan makanannya impor dari Meksiko, Taiwan, dan Amerika Latin. Terbukti, kini ia menanggung resikonya.

Indonesia sudah mengalami banyak pengalaman tentang betapa urgennya sektor pertanian. Terakhir, ketika ada serangan virus corona. Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang berkembang positif. Bahkan konon mampu tumbuh mencapai 16 persen. Bahkan masyarakat banyak melakukan ekspor produk pertanian, karena didorong oleh pemerintah pusat.

Oleh karenanya, perlu segera ada aturan untuk melindungi tanah-tanah sawah dan lahan produktif di Bali. Jalan tol Gilimawi yang menghancurkan banyak sawah di Bali, perlu segera dievaluasi, dikaji ulang atau dibatalkan. Karena sangat berpotensi membahayakan masa depan dan keberlanjutan ekonomi dan budaya agraris Bali.

Para pajabat publik umumnya hanya berpikir jangka pendek 5-10 tahun. Mereka selalu dan hanya ingin membangun citra politik yang aduhai, yakni dengan membangun infrastruktur fisik. Tujuannya tentu saja agar dipilih kembali dalam masa pilkada selanjutnya. Hal itu secara politis, wajar-wajar saja. Karena itulah sebetulnya esensi persaingan politik yakni : kekuasaan.  Tetapi rakyat pemilih harus sadar, harus cerdas bahwa keberlanjutan Bali jauh lebih urgen daripada sekadar  pembangunan citra politik untuk 5-10 tahun. Mari kita renungkan bersama. *) Penulis adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti (*).     

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email