Menyambut Perayaan Tumpek Krulut, 23 Juli 2022
Sujud: Antara Guru Pāduka dan Guru Piduka

Guru Paduka dan Guru Piduka

Ada khabar menggembirakan dan memberi aura positif saat Gubernur Bali,  Wayan Koster  mencanangkan Perayaan Tumpek Krulut, 23 Juli 2022 mendatang dengan sungkem atau sujud kepada guru ata u dosen dari masing-masing siswa dan mahasiswa. “Gubernur Bali Wayan Koster telah mengeluarkan instruksi tentang perayaan Hari Tumpek Krulut yang jatuh pada Sabtu (23/7) mendatang. Secara nyata (sekala), para pelajar, baik siswa maupun mahasiswa diminta sungkem kepada guru atau dosennya.” Demikian petikan berita pada link ini: https://diaribali.com/koster-imbau-pelajar-sungkem-kepada-pendidik-saat-perayaan-tumpek-krulut-di-lembaga-pendidikan/.

Di Bali kita mengenal ajaran Catur Guru, yaitu Guru Swadyaya (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), Guru Wisesa (Pemimpin/Pemerintah), Guru Pengajian (Guru di sekolah), dan Guru Rupaka (Orang tua).

Di masa lalu, seorang pemimpin yang dihormati (Guru Wisesa), apalagi sekelas raja, biasa disapa dengan “Paduka Yang Mulia …” di mana kata “pāduka” berasal dari kata “pāda” yang artinya “kaki”. Sementara pāduka sendiri bermakna “alas kaki” atau “sandal” atau jenis lainnya.  Menyebut pemimpin dengan “Paduka …Yang Mulia” secara harfiah berarti “Alas kaki Yang Mulia”.  Betulkah demikian? Alas kaki, kok disungkemi? Disujudi? Disebut “Yang Mulia”?

Pada peradaban di luar Hindu Dharma (selain Hindu), ini mungkin dianggap takhayul atau perbudakan. Tetapi pada Peradaban Hindu Dharma, ini merupakan budaya yang memajukan nilai-nilai kemanusiaan.

Pāda atau kaki merupakan perpanjangan dari Muladhara Chakra. Bagi seorang Sanatani yang meyakini (sraddha) seorang guru, maka sungkem atau sujud dan menyebut pāduka pada gurunya merupakan bhakti atau tindakan yang mengekspresikan keyakinan atau sraddhanya yang didasari inteligensia. Bukan didasari takhayul. Sekali lagi ini, bukanlah takhyul. Karena saat sungkem atau sujud, kita menyentuhkan kepala bagian depan yang meliputi neo cortex bagian lobus prefrontal dan kelenjar pineal pada perpanjangan dari Muladhara Chakra sang guru. Hal ini menunjukkan sikap jika organ inteligensia kita, lobus prefrontal neo cortex dan kelenjar pineal, yang berkaitan dengan Agya Chakra, kita hubungkan sepenuhnya dengan Muladhara Chakra sang guru yang kita yakini sudah memancarkan sifat-sifat mulia secara nyata. Kita meyakini sifat-sifat mulia sang guru akan mengikuti hukum gravitasi, mengalir melalui Muladhara Chakra (kaki) menuju Agya Chakra kita yang sungkem atau sujud kepada beliau (sang guru). Inilah pandangan Hindu Dharma pada Budaya Sujud atau Sungkem.

Di masa lampau, pemimpin atau raja-raja tertentu bahkan diyakini sebagai inkarnasi  dari dewa-dewa tertentu. Inilah ekspresi dari Guru Wisesa. Apalagi terhadap orang tua dan guru di sekolah/kampus yang memberikan tubuh, makanan, dan pendidikan.

Lantas, bagaimana dengan Guru Swadhyaya? Bagaimana mewujudkan Tuhan sehingga bisa disungkemi atau disujudi?

Dalam drsta utama  Peradaban Hindu Dharma, baik Advaita, Dvaita, dan Vishishtadvaita, semuanya mengenal Budaya Sujud ini. Bahkan pada drsta Advaita yang meyakini Tuhan sebagai Acintya atau Nirguna Brahman sekali pun, budaya sujud ini tetap ada. Sadguru atau guru suci, guru spiritual yang diyakini telah mencapai Jivanmukti, merupakan wujud nyata dari Atma yang sudah mengalami realisasi penyatuan dengan Purusha dan Paramatma dalam wujud darah dan daging.

Kepada para Sadguru yang diyakini inilah, para shishya (murid) melakukan sujud sebagai ekspresi dari Guru Swadhyaya. Di Bali, para nanak menjalankan tradisi Guru Swadhyaya ini dengan sujud pada nabe-nya yang diyakini sebagai Shiva Sekala atau Shiva (salah satu sebutan Tuhan) dalam wujud darah dan daging.  Budaya inilah yang secara universal dikenal dengan “Guru Paduka“.

Salah satu contoh Guru Paduka pada tradisi Hindu di Banyuwangi, dapat kita lihat pada mantra sesontengan berikut:

Om Pukulon Pāduka Bathara Wisnu
Alinggih Haneng Daksina Sesantun,

Bathara Guru Asung Anugraha
Sangkal Wiruning Pinujo Dening Ingsun,

Wastu Purnajati Tanpami Rodo Ri Sariran Ingsun
Om Astu Sidhirastu Ya Namah Swaha

Tradisi di Bali juga mengenal “Guru Piduka” yang juga berasal dari tradisi “Guru Pāduka“. Guru Piduka merupakan upakāra yang fokusnya merupakan permintaan maaf pada pāduka (Pāduka Ida Bathara) karena telah muncul duhkha (pada pikiran, fisik, dan materi lainnya) yang diyakini disebabkan perbuatan (karma) masa lalu kita yang tidak selaras dengan hukum alam yang telah ditetapkan pāduka (Pāduka Ida Bathara).

Ijinkan Forum Advokasi Hindu Dharma (FAHD) mengakhiri artikel kali ini dengan kutipan dari “Guru Pāduka Stotram” sebagai ekspresi bhakti pada Sadguru Vyāsa yang telah menulis Catur Veda, Mahabharata, dan banyak kitab-kitab penting lainnya, yang “kelahirannya” dirayakan sebagai “Guru Purnima” pada Rahina Suci Purnama, Rabu, 13 Juli 2022:

“Ananta samsara samudra tar naukayitabhyam guru bhaktithabhyam,
Vairagya samrajyadha pujanabhyam, namo namah sri guru padukabhyam.”

Yang maknanya: “Menyeberangi lautan samsara kehidupan yang tiada bertepi adalah dimungkinkan dengan ‘perahu’ berupa bhakti pada Guru, yang menunjukkan jalan berharga berupa pelepasan diri dari keterikatan, O, Guru, aku bersujud pada Mu, Pāduka.”   Stotram ini ditulis oleh Guru Suci Adi Sankaracharya yang merupakan tokoh besar dari drsta atau pandangan Advaita. Selamat Hari Suci Guru Purnima (*).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email