Oleh : Wayan Windia *)
Saya baru paham, bahwa elemen Sad Kertih itu tidak baku. Selama ini kita memahami bahwa elemen Sad Kertih itu terdiri dari Wana Kertih, Danu Kertih, Segara Kertih, Jana Kertih, Atma Kertih dan Jagat Kertih. Hal ini sering dikemukakan Gubernur Bali, I Wayan Koster setiap menyampaikan visi pembangunan Bali saat ini, “Nangun Sad Kertih Loka Bali”.
Namun, lain halnya substansi yang berkembang dalam webinar “Sandyakalaning Subak 2021” yang diselenggarakan Yayasan Mandara Riset pada bulan lalu. Ahli lontar Dr. Sugi Lanus, dan dosen Prodi Bahasa Bali, FIB, Unud, Dr. Guna Sastra berpendapat lain. Disebutkan bahwa, menurut Lontar Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, elemen Sad Kertih itu adalah : Giri Kertih, Wana Kertih, Ranu Kertih, Swi Kertih, Segara Kertih dan Jagat Kertih. Mereka lalu mempersoalkan, kenapa selama ini tidak disebutkan Swi Kertih yakni penyelamatan terhadap sawah dan subak? “Apakah memang sumber lontarnya berbeda ?” tanyanya.
Sebagai orang awam, saya tidak mempermasalahkan perbedaan elemen Sad Kertih itu. Pasti esensinya adalah penyelarasan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dan dengan segala isinya agar manusia bisa sejahtera dan alam lestari dan harmoni. Untuk itulah dilakukan penyelamatan pada esensi elemen Sad Kertih itu. Namun, yang paling urgen menurut saya adalah bagaimana elemen Sad Kertih itu bisa diterapkan dalam berbagai program dengan harmoni. Kemudian kita akan melihat, realitas yang sedang terjadi saat ini di Bali.
Yang kini terjadi di Bali adalah fakta yang tak terbendung bahwa sawah di Bali berkurang rata-rata 2.800 hektar/tahun (sebelum serangan Covid-19). Saat ini, Nilai Tukar Petani (NTP) di bawah 100. Sumbangan sektor pertanian di Bali terus menurun sejak lebih kurang 50 tahun yang lalu. Kini kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 13%. Kemudian, secara teoritik disebutkan bahwa, kalau sektor pariwisata meningkat 100%, maka sektor pertanian akan meningkat 60% (Artini, 2020). Tapi ternyata teori itu tidak berlaku di Bali.
Hal itu berarti bahwa, tidak ada kebijakan yang memihak sektor pertanian. Sebetulnya sudah ada Peraturan Gubernur (Pergub) No. 99 tahun 2018. Tetapi sayang, pergub itu tidak dijalankan dengan baik alias macan ompong. Karena, Perusda Prov. Bali tidak memiliki dana yang cukup untuk mem-back up Pergub itu. Dan memang tak mudah melawan kaum kapitalis. Tak mudah pula mengurangi kenyamanan kaum kapitalis.
Semua hal yang dibahas di atas, mungkin bisa terjadi karena kita tidak ada perhatian pada sawah dan pertanian. Tidak ada penghormatan pada sawah. Sawah adalah manifestasi dari Ida Betara Wisnu dan Dewi Sri. Penghancuran terhadap sawah bisa terjadi, mungkin karena kita melupakan konsep Swi Kertih dalam Sad Kertih. Konsep Swi Kertih adalah konsep penghormatan kepada sawah dan subak.
Sawah dan subak di Bali dibangun lebih dari 10 abad yang lampau dengan susah payah dan bedarah-darah di bawah kepemimpinan Ida Rsi Markandya. Kemudian pada Tahun 1891, sawah dan subak dipertahankan pula dengan berdarah-darah dalam perang besar antara Kerajaan Badung dengan Kerajaan Mengwi. Sekarang, tatkala ada pariwisata, sawah dan subak “dihantam” hingga sekarat dan “berdarah-darah”. Menurut saya, pariwisata telah menjadi kanibalis bagi sektor pertanian.
Terakhir, kita mendengar bahwa sawah juga akan “dihantam” dalam proses pembangunan jalan tol Gilimanuk-Mengwi. Tidak hanya sawah yang dihantam, tetapi juga hutan di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Menghantam hutan juga berarti kita juga telah mengingkari konsep Wana Kertih. Mungkin memang beginilah cara hidup di Jaman Kaliyuga. Apa yang kita katakan, sering tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan. Tak sejalan antara kata dan laksana.
Masih berkaitan dengan konsep penghormatan terhadap sawah dan subak (Swi Kertih), saya mencoba kontak dan bertanya kepada Ratu Shri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa Pemayun yang juga Bhagawanta Gubernur Bali, I Wayan Koster. Pertanyaan saya, kenapa Swi Kertih tidak masuk dalam konsep Sad Kertih yang kini sedang digaungkan? Ratu Shri Bhagawan mengatakan bahwa, konsep Swi Kertih sudah termasuk dalam berbagai konsep Sad Kertih.
Logikanya, mungkin karena sudah dianggap masuk, maka tidak perlu disebutkan secara riil dalam sosialisasi konsep Sad Kertih. Selanjutnya, mungkin karena tidak disebutkan secara riil, maka perhatian kita kepada sawah dan subak. Sawah dan subak dipandang sebelah mata (alias tak adil). Maka pantaslah sawah dan subak seenaknya saja dihancurleburkan. Bahkan sawah dan subak di kawasan subak yang menjadi warisan dunia UNESCO juga dihancurleburkan.
Saya mendapat informasi dari internet, bahwa tujuan dari pembangunan jalan tol Gilimanuk-Mengwi, salah satunya adalah untuk menunjang sektor pariwisata. Jadi, hampir semua rencana pembangunan di Bali, tampaknya adalah untuk menunjang sektor pariwisata. Saah selalu menjadi korban utama. Artinya, kita sama sekali tidak ada rasa peduli untuk memelihara dan melestarikan sawah dan subak. Sawah dan subak setiap saat dengan mudah dihabisi begitu saja, lagi-lagi hanya demi pariwisata. Tengok saja, pada Penjabaran UU tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Bali, sawah dan subak juga tidak mendapat perhatian yang semestinya. Setahu saya, hanya Kabupaten Gianyar yang sudah membuat perda tentang LP2B.
Apakah kita akan makan aspal dan beton kalau pariwisata hancur seperti saat ini ? Lihat saja saat ini, hampir semua pekerja pariwisata yang nganggur saat pandemi Covid-19 ini beralih profesi menjadi petani agar bisa bertahan hidup karena bisnis pariwisata bangkrut. Kita juga sudah sangat paham, apa yang akan terjadi suatu ketika kalau di Bali tidak lagi ada sawah dan subak. Dr. Made Gerya meramalkan bahwa sawah dan subak di Bali akan “nyungsep” pada tahun 2030. Kalau tidak ada kebijakan strategis dari pemerintah Bali, maka pada saatnya nanti, anak cucu kita tak akan sempat menyaksikan Bali dengan subak dan sawah-sawahnya yang dahulu dibangun oleh leluhur kita, Rsi Markandya. Mungkin yang akan disaksikan adalah jalanan beraspal, rumah beton, dan bekas bangunan hotel yang telah menjadi rumah hantu. Ini sungguh amat mengerikan. *) Penulis, adalah Guru Besar di Fak. Pertanian Unud dan Ketua Stispol Wira Bhakti, Denpasar.