Oleh : Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, S.U, Denpasar
Saya mendapat buku tentang Ekologisme Batur. Pengarangnya Jero Penyarikan Duuran Batur (walaka : I Ketut Eriadi Ariana). Kata “isme” dalam kata Batur, menunjukkan bahwa sang pengarang dengan sadar ingin memperkenalkan konsep atau ideologi ekologi yang terjadi di Kawasan Batur. Berbicara tentang ekologi berarti, kita berbicara tentang tiga dimensi. Yakni dimensi : biotik (segala bentuk yang bernafas), abiotik (segala bentuk yang tidak bernafas), dan sosial budaya. Semuanya tercermin dalam buku Ekoligisme Batur tersebut.
Sebagai “orang subak”, saya tertarik tentang bahasan konsep pasihan di buku itu. Bahwa sejak zaman purba, di Batur sudah mengenal harmoni hulu-hilir. Di kawasan hulu (di Batur) adalah kawasan yang menghasilkan air. Sedangkan kawasan di hilir (Bali bagian selatan), adalah kawasan sawah, sebagai pemanfaat/pengelola air. Hulu-hilir sudah ada kesadaran untuk ber-harmoni pada abad-abad yang lalu, dalam bentuk persembahan ke Pura Ulun Danu Batur.
Saya tahu, bahwa setiap ada odalan di Pura Ulun Danu Batur, subak-subak di hilir maturan ke Pura Ulun Danu Batur. Tetapi saya tidak paham bahwa ada filosofi di belakang fraksi itu. Konsep ini, beberapa dekade yang lalu, dibahas dalam organisasi Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia (JKII). Tujuannya untuk menemukan konsep tentang bagaimana cara menimbulkan kesadaran harmoni hulu-hilir. Dengan bantuan dari Kementerian PUPR dan Bappenas, diadakanlah berbagai diskusi. Kemudian diadakan try-out di NTB. Tetapi akhirnya, cerita itu, lama tak terdengar lagi.
Kalau saja saya tahu, mungkin saya bisa mengusulkan agar Jero Penyarikan Duuran Batur diundang untuk memperkenalkan konsep pasihan tersebut. Saya yakin bahwa sebuah fraksis (pelaksanaan konsep), harus dilandasi filosofis kearifan (purba). Bagaimana pun kita harus bercermin (melakukan refleksi) ke masa lalu, bila kini kita akan menggagas masa depan. Masa lalu (atita)-masa kini (wartamana)-dan masa depan (anagata) adalah sebuah ikatan sistem. Konsep ini juga didengungkan di Markas Besar UNESCO di Paris oleh ahli Barat (Belanda). Yakni tatkala membahas masalah subak sebagai warisan dunia. “Bagaimana kita bisa merancang masa depan, kalau kita tidak tahu masa lalu” katanya.
Ternyata eksistensi Pura di Bali, sangat penting maknanya untuk mempersatukan komunitas. Eksistensi Pura Ulun Danu Batur, terbukti sangat berperan dalam membangun kesadaran ekologis, bagi komunitas hulu-hilir. Dicatat juga oleh pengarang, bahwa Dalem Watu Renggong berhasil mempersatukan karaman Tampurhyang, Cempaga, dan Sinarata. Kemudian bernama Batur, setelah menerima wangsit dan berembug di Batu Sila Rupit. Ternyata eksistensi aura Pura, memang bisa membangun kesadaran baru yang berlandaskan harmoni.
Tercatat pula pengalaman dalam proses pembentukan subak-gede atau subak-agung di Tabanan dan Buleleng, tahun 1989-1991. Berbagai subak itu bisa dipersatukan dalam satu sistem subak-gede atau subak-agung, bila mereka sudah bersepakat tentang salah satu Pura yang harus di-sungsung bersama-sama sebagai parhyangan. Barangkali sistem pura merupakan salah satu keunikan dan kekuatan masyarakat Bali dalam menata entitas sosialnya.
Saya juga terkesan, bahwa orang-orang Batur adalah orang-orang radikal. Orang-orang Bali Mule itu ternyata adalah orang-orang yang tetap menentang pendudukan Majapahit, meskipun secara keseluruhan pemerintahan Bali Kuno di Bali sudah runtuh pada tahun 1343. Bahkan kegiatan menentang eksistensi Majapahit masih tetap berlangsung, meski pemerintahan di Bali sudah dipegang oleh Ida Dalem Sri Aji Kresna Kapakisan.
Sebagai orang-orang yang kuat dan tangguh, maka Orang-Orang Batur direkrut menjadi tentara Kerajaan Bangli. Tugasnya adalah untuk menjaga perbatasan Bangli-Gianyar. Karena Gianyar selalu ingin menyerang dan ingin menguasai Bangli. Dicatat dalam buku itu, bahwa penjagaan pasukan itu menjadi sia-sia. Mungkin alasannya karena Kerajaan Gianyar akhirnya tidak berani menyerang Kerajaan Bangli.
Tampaknya ketangguhan Orang-Orang Batur tercermin dalam eksistensi generasi masa kini. Banyak sekali Orang-Orang Batur yang muncul ke permukaan kepemimpinan nasional. Orang-orangnya cerdas. Di antaranya yang paling menonjol adalah eksistensi Ir. Jero Wacik, S.E. Banyak lagi yang sampai menjabat sebagai dirjen, dan dirut, serta muncul sebagai intelektual.
Apa yang terjadi di Batur mengingatkan saya pada era sejarah nasional, setelah Perang Jawa (Perang Diponogoro) yang berakhir pada tahun 1830. Tidak serta merta semua pengikut Pangeran Diponogoro menyerah kepada Belanda. Masih ada sekelompok radikal, yang menyebut dirinya kelompok Budhiah. Mereka bersekutu dengan kaum agamawan, untuk terus melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Meskipun tidak menonjol dalam catatan sejarah, namun hal itu menunjukkan bahwa, dalam setiap komunitas dan peristiwa, selalu saja muncul kelompok radikal.
Dalam ilmu statistik, fenomena disebut dengan konsep kurve normal. Sebagian besar dari suatu komunitas akan berada dalam daerah normal (di tengah). Sisanya, pasti ada yang berada di ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Masalahnya, berapa persen probabilitas di kanan dan di kiri yang bisa disepakati, sebagai hal yang sudah berpengaruh signifikan. Itu artinya, sejarah memberi pelajaran, bahwa di komunitas Indonesia (NKRI), selalu akan ada orang-orang radikal. Untuk itu perlu dibangun secara terus-menerus, sebuah kesadaran komunal, tentang kebenaran yang ajeg dari empat pilar kebangsaan kita. *) Penulis, adalah Guru Besar di Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.